Minggu, 05 Februari 2017
Pangeran Utsmani dan Takdir Kematian (bag. 1)
Tak diragukan lagi, fratrisida
(pembunuhan saudara) merupakan salah satu bahasan paling kontroversial dalam
sejarah Utsmani[1].
Disampaikan dalam hukum pemerintahan Sultan Mehmed Fatih[2][2]
tentang berhaknya memberikan hukuman mati kepada anggota dinasti laki-laki untuk menjaga masa peralihan kepemimpinan.
Terdapat perbedaan dalam pelaksanaan hukuman mati ini sepanjang sejarah
kekaisaran, dengan sebagian besarnya dipandang sebagai tindakan yang sah,
tetapi sebagian pelaksanaan hukuman mati, utamanya untuk mencegah kemungkinan
pemberontakan, dikritik sebagai tindakan yang tidak dibenarkan.
Adat “kerajaan menjadi
kepemilikan bersama dinasti” menjadi salah satu ciri politik bangsa Turki kuno[3],
dan terus berlanjut sampai mereka memeluk Islam. Sebagian pemimpin bangsa Turki
memilih untuk membagi negara mereka menjadi beberapa wilayah dan memberikannya
kepada para pangeran untuk menghindari perang saudara. Namun pelaksanaan ini
memperlemah negara dan menggiring pada kejatuhannya. Syukurlah, Utsmani belajar
dari pengalaman ini. Mereka mengorbankan diri mereka untuk negara dan rakyatnya
dan meminum racun pahit itu untuk diri mereka sendiri. Racun pahit itu adalah
menghukum mati sesama anggota dinasti untuk kemaslahatan masyarakat, yang
dikenal dengan fratrisida.