The Time

Kamis, 10 Maret 2016

Misteri Gang Bayangan


Bila cahaya selalu menampilkan keceriaan, maka sebaliknya, bayang-bayang selalu menyuguhkan misteri. Itulah sebabnya kami menyebut itu sebagai gang bayangan.

 
“Kalian sudah dengar kalau Mas Yus hilang di gang itu kemarin?” tanya Amri saat baru saja aku meletakkan tas di kursi. Mas Yus adalah kakak tingkatku yang terkenal badung. Walaupun sudah kelas dua belas, dia masih saja suka nongkrong dan hura-hura, tidak memikirkan ujian akhir atau semacamnya yang umumnya dipusingkan teman sebayanya.

“Iya, aku juga sudah dengar,” timpal Andi. “Katanya dia kejar-kejaran dengan preman malam kemarin. Saat itu dia terpojok dan lari di gang bayangan untuk sembunyi. Setelah itu tidak ada kabarnya lagi.”

“Kasihan sekali orangtuanya,” timpalku. “Semoga mereka dianugerahi kesabaran.”

Entah sudah berapa orang yang hilang di gang bayangan itu. Sebenarnya itu hanya gang biasa yang dibentuk dari gedung perkantoran, jajaran ruko, dan rumah yang tidak terpakai lagi semenjak peristiwa kebakaran dan penjarahan lima belas tahun lalu, menjadikan daerah itu sebagai kompleks yang sunyi.

Semasa kecil, aku sering bermain di sana, dari petak umpet sampai sepak bola di ruang gedung. Tidak ada yang terjadi karena kami selalu melakukannya saat siang. Begitu jam lima sore, para ibu berbondong-bondong meneriaki anak mereka, termasuk ibuku, dan menyuruh kami segera keluar dari tempat itu. Pernah salah seorang temanku tertidur di salah satu sudut gang saat bermain petak umpet sampai malam menjelang. Kami lupa membangunkannya, dan itulah saat terakhir kami melihatnya. 

*** 

“Kak, belikan ini, dong,” tunjuk adik perempuanku yang berusia enam tahun kepada sebuah bola bekel.

“Minggu kemarin kan sudah kakak belikan. Masak mau beli lagi?”

“Kemarin dihilangkan Tasya.”

“Tapi uang kakak habis.”

“Ambil dulu aja, Mas,” sahut ibu penjaga warung. “Besuk saja bayarnya.”

Pada akhirnya aku mengambil bola bekel ini juga karena rengekan adikku. Arlojiku juga sudah menunjukkan pukul delapan malam, jadi aku tak mau berdebat lebih lama.

Perjalanan pulang kami habiskan dengan kesunyian. Aku sibuk membalas pesan-pesan yang masuk di Whatsapp, sementara adikku sibuk memainkan bola bekelnya.

“Aduh, Kak. Bola bekelnya jatuh.”

“Ambil sendiri,” ujarku cuek. Tiba-tiba ada panggilan masuk. Dari Andi?

“Halo, ada apa? Ngapain telpon malam-malam?” tanyaku pada Andi yang ternyata ingin menyontek tugas Bahasa Jepangku yang akan dikumpulkan besok. Setelah perdebatan selama beberapa menit yang diakhiri dengan kekalahannya, aku mengajak adikku untuk mempercepat langkah. Tetapi, dia tak ada di sampingku?!

Aku menengok ke sana ke mari. Ternyata adikku sudah jauh di depan, mengejar bola bekelnya yang memantul dan menggelinding tak tentu arah.

“Hei, Dik. Jangan lari-lari!” ujarku selantang mungkin sambil mengejarnya. Tetapi jantungku serasa berhenti saat menyadari arah laju bola bekel itu.

Gang bayangan.
 
Bola itu menggelinding masuk gang, diikuti adikku. Aku hendak berteriak, tapi suaraku tak keluar. Adikku langsung masuk ke gang terkutuk itu. Celaka!

Aku tertegun di mulut gang. Bingung. Suara adikku lenyap. Apakah dia hilang? Apakah aku akan mengikuti adikku? Bagaimana kalau aku juga hilang? Tapi mana mungkin aku tega meninggalkannya?

Tiba-tiba sebuah ide terlintas. Aku mengambil segulung panjang tali rafia yang aku beli. Gulungan pertama aku buka. Satu ujungnya aku ikat di sebuah tiang dan satu ujungnya diikat ke tanganku. Jika aku tersesat di dunia lain di balik gang, aku akan pulang dengan tali ini, pikirku.

Setelah mengirim pesan kepada orangtua dan teman tentang situasiku, aku meninggalkan tas belanja di tiang sebagai tanda. Dengan perasaan tak karuan, aku langsung masuk gang, mengejar adikku yang hilang.

[cerita selanjutnya]

#StoryBlogTour
#OWOP

1 komentar:

Posting Komentar