Bila cahaya selalu menampilkan
keceriaan, maka sebaliknya, bayang-bayang selalu menyuguhkan misteri. Itulah sebabnya
kami menyebut itu sebagai gang bayangan.
“Kalian sudah dengar kalau Mas Yus
hilang di gang itu kemarin?” tanya Amri saat baru saja aku meletakkan tas di
kursi. Mas Yus adalah kakak tingkatku yang terkenal badung. Walaupun sudah
kelas dua belas, dia masih saja suka nongkrong dan hura-hura, tidak memikirkan
ujian akhir atau semacamnya yang umumnya dipusingkan teman sebayanya.
“Iya, aku juga sudah dengar,” timpal
Andi. “Katanya dia kejar-kejaran dengan preman malam kemarin. Saat itu dia
terpojok dan lari di gang bayangan untuk sembunyi. Setelah itu tidak ada
kabarnya lagi.”
“Kasihan sekali orangtuanya,”
timpalku. “Semoga mereka dianugerahi kesabaran.”
Entah sudah berapa orang yang hilang
di gang bayangan itu. Sebenarnya itu hanya gang biasa yang dibentuk dari gedung
perkantoran, jajaran ruko, dan rumah yang tidak terpakai lagi semenjak
peristiwa kebakaran dan penjarahan lima belas tahun lalu, menjadikan daerah itu
sebagai kompleks yang sunyi.
Semasa kecil, aku sering bermain di
sana, dari petak umpet sampai sepak bola di ruang gedung. Tidak ada yang
terjadi karena kami selalu melakukannya saat siang. Begitu jam lima sore, para
ibu berbondong-bondong meneriaki anak mereka, termasuk ibuku, dan menyuruh kami
segera keluar dari tempat itu. Pernah salah seorang temanku tertidur di salah
satu sudut gang saat bermain petak umpet sampai malam menjelang. Kami lupa
membangunkannya, dan itulah saat terakhir kami melihatnya.
***
“Kak, belikan ini, dong,” tunjuk adik
perempuanku yang berusia enam tahun kepada sebuah bola bekel.
“Minggu kemarin kan sudah kakak
belikan. Masak mau beli lagi?”
“Kemarin dihilangkan Tasya.”
“Tapi uang kakak habis.”
“Ambil dulu aja, Mas,” sahut ibu
penjaga warung. “Besuk saja bayarnya.”
Pada akhirnya aku mengambil bola bekel
ini juga karena rengekan adikku. Arlojiku juga sudah menunjukkan pukul delapan
malam, jadi aku tak mau berdebat lebih lama.
Perjalanan pulang kami habiskan dengan
kesunyian. Aku sibuk membalas pesan-pesan yang masuk di Whatsapp, sementara adikku sibuk memainkan bola bekelnya.
“Aduh, Kak. Bola bekelnya jatuh.”
“Ambil sendiri,” ujarku cuek. Tiba-tiba
ada panggilan masuk. Dari Andi?
“Halo, ada apa? Ngapain telpon
malam-malam?” tanyaku pada Andi yang ternyata ingin menyontek tugas Bahasa
Jepangku yang akan dikumpulkan besok. Setelah perdebatan selama beberapa menit
yang diakhiri dengan kekalahannya, aku mengajak adikku untuk mempercepat
langkah. Tetapi, dia tak ada di sampingku?!
Aku menengok ke sana ke mari. Ternyata
adikku sudah jauh di depan, mengejar bola bekelnya yang memantul dan
menggelinding tak tentu arah.
“Hei, Dik. Jangan lari-lari!” ujarku
selantang mungkin sambil mengejarnya. Tetapi jantungku serasa berhenti saat
menyadari arah laju bola bekel itu.
Gang bayangan.
Bola itu menggelinding masuk gang,
diikuti adikku. Aku hendak berteriak, tapi suaraku tak keluar. Adikku langsung
masuk ke gang terkutuk itu. Celaka!
Aku tertegun di mulut gang. Bingung. Suara
adikku lenyap. Apakah dia hilang? Apakah aku akan mengikuti adikku? Bagaimana kalau
aku juga hilang? Tapi mana mungkin aku tega meninggalkannya?
Tiba-tiba sebuah ide terlintas. Aku mengambil
segulung panjang tali rafia yang aku beli. Gulungan pertama aku buka. Satu ujungnya
aku ikat di sebuah tiang dan satu ujungnya diikat ke tanganku. Jika aku
tersesat di dunia lain di balik gang, aku akan pulang dengan tali ini, pikirku.
Setelah mengirim pesan kepada orangtua
dan teman tentang situasiku, aku meninggalkan tas belanja di tiang sebagai
tanda. Dengan perasaan tak karuan, aku langsung masuk gang, mengejar adikku
yang hilang.
[cerita selanjutnya]
[cerita selanjutnya]
#StoryBlogTour
#OWOP
1 komentar:
wah keren kak nice
pt markaindo selaras
Posting Komentar