Selamat Datang!!!

Silakan tinggalkan komentar dengan santun

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Menuju Masa Keemasan Islam

Bukan bertanya, "Kapan Islam berjaya?" karena cepat atau lambat Islam pasti kan berjaya. Namun bertanyalah, "Apa peranku dalam menyongsong kejayaannya?"

The Time

Selasa, 29 Desember 2015

Tragedi Villa 2

"Mehmed! Riko! Iskandar! Ali! Leon! Giliran kalian."

Untuk hari ini, hari ketiga, kelas 11-C mendapat giliran untuk olahraga pagi dan kelas 11-D yang bertugas bersih-bersih villa. Untuk nanti sore, kelas kamilah yang giliran bersih-bersih, sementara kelas 11-D melakukan olahraga sore. Untuk saat ini, olahraga yang kami lakukan adalah lari 100 meter di pantai. Kami semua menggunakan seragam olahraga kami, kaus tanpa lengan warna putih dengan garis hitam di lubang leher dan lengan dengan lambang sekolah di dada kiri, dan celana training hitam dengan garis putih di sisi. Harusnya para guru tidak perlu mewajibkan kegiatan olahraga menggunakan seragam olahraga sekolah karena malah terkesan kalau ini pelajaran olahraga, bukan wisata.

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, banyak teman sekelasku yang terlihat mengantuk. Wajar saja, hampir semalaman kami tak bisa tidur. Pasca kematian Andy, penasaran dan takut bercampur jadi satu. Diwawancarai guru lima-lima yang dilanjut obrolan seputar pembunuhan sampai subuh benar-benar menyita tenaga. Tapi untungnya, para guru sigap memotivasi agar mereka tak panik dan cemas, karena itu tak bermanfaat sama sekali untuk siapapun, selain untuk pembunuhnya. Jadi anak-anakpun berusaha semampu mungkin untuk beraktifitas seperti biasa.

"Hei, Al." panggil Gray yang duduk di sebelahku. "Kau simpan di mana gelang Andy pada akhirnya."

"Aku titipkan ke Pak Sahin." balasku. "Aku tak tahu pilihan lain."

Ba'da subuh, setelah mengobrol sebentar dengan Pak Sahin di ruangan beliau, aku, Gray, dan Sam menuju kamar Andy dan menanyai teman-teman sekelasnya. Mereka yang berada di sekitar Andy mengatakan hal yang sama, bahwa ada sesuatu yang bercahaya tepat di tempat Andy berdiri. Salah satu barang yang dipakai Andy saat itu bercahaya, yang menunjukkan kepada pelaku tempat Andy berada, dan benda itu adalah gelang. Gelang berlapis fosfor.

"Jadi kalau begitu, pelaku sudah dekat dengan Andy dong sebelumnya." bisik Sam. "Karena dia tahu kalau Andy akan memakai gelang tersebut dan menjadikannya sebagai penunjuk tempat Andy berada saat gelap."

"Ya, kemungkinan besar. Normalnya, teman-teman dekat Andylah yang lebih tahu kebiasaannya, termasuk kesukaannya menggunakan gelang fosfor itu akhir-akhir ini dan itu menjadikan mereka sebagai tersangka utama. Tapi tak menutup kemungkinan orang lain juga tahu, terlebih jika orang itu memang bermaksud membunuh Andy sejak awal. Pasti dia akan berusaha mengetahui kebiasaan Andy belakangan ini."

"Ren! Altunsyah! Sam! Fairuz! Gray!" Teriak Pak Budi dari garis finish. Kamipun mengakhiri obrolan dan berdiri di garis start berjajar, menunggu peluit tanda mulai.

Pritiiit!
Peluit dibunyikan dan kami berlima berlari sekencang mungkin. Aku tahu kalau berjalan dan berlari di pasir memang lebih sulit, tapi aku tak menyangka sesulit ini. Gray dan Ren berada di depan, sudah kuduga, dan sepertinya sangat semangat mengincar posisi pertama. Mereka berdua memang atletis karena sangat suka berolahraga. Aku sendiri sering diajak fitness belakangan ini. Ren sendiri sudah sebulan ini mulai mendalami karate dan Gray katanya hendak belajar Thifan Po Khan.

Aku melihat ke kiri. Fairuz tampak kesulitan juga, tapi aku masih unggul beberapa langkah. Dari wajahnya jelas terlihat kalau dia masih syok dan cemas sejak peristiwa kemarin malam.

"Ren dan Gray delapan belas detik." ujar Edo yang ditugasi mengukur waktu. "Altunsyah dua puluh satu detik dan Fairuz dua puluh lima detik."

"Hey, Al. Kelihatannya kemampuan fisiknya agak naik daripada saat kelas 10." Ujar Ren. "Makanya rajin olahraga terus."

"Oke." Hanya itu jawabanku. Aku masih lelah.

"Bener. Biar kamu nggak kayak dia." Imbuh Gray sambil menunjuk Sam. Dia masih tiga perempat jalan. Dua sembilan, tiga puluh, tiga puluh satu, tiga puluh dua.

"Sam, tiga puluh tiga detik." Ujar Edo pada Pak Budi.

"Kamu itu benar-benar payah." Ejek Gray kepada Sam saat kami kembali ke kamar. Tapi Sam tak membalas. Dia terbaring di kasurnya dengan lemas, seolah nyawanya hampir melayang saat itu juga.

Kamar kami semua dan para guru berada di lantai dua villa, sedangkan lantai satu untuk dapur, ruang aula, ruang makan, kamar para penjaga villa, tempat basket dan futsal, dan kolam renang dalam. Untuk kami para siswa, tiap kamar diisi lima orang.  Kamar kami memanjang dengan pintu di ujung, kemudian lima tempat tidur berjajar dengan meja di sisi kiri dan lemari kayu untuk satu orang di sisi kanan di tiap-tiap sisi tempat tidur. Di hadapan tempat tidur, terdapat jendela cukup luas untuk memandang panorama pantai dan laut.

"Bener tuh. Jadi cowok kok lemah banget. Laki itu harus punya otot kayak gini." Ujar Ren sambil memamerkan ototnya.

"Tapi kayaknya kamu harus atur pola makanmu deh, Ren." Timpalku sambil mendekat ke jendela, mencari angin dan mengeringkan kaus. "Lemakmu udah mulai nutupin ototmu, tuh."

"Iya, nih. Dua minggu ini aku makan agak banyak, jadi perut sixpack gue agak ketutup lemak, dah. Dua minggu ini aku juga bolos fitness." Kata Ren sambil menepuk-nepuk perutnya.

"Ruz, kamu kok lemes banget?" Tanyaku kini pada Fairuz yang sedari pagi hanya diam saja. "Kamu sakit?"

"Nah, Fairuz juga nih. Kamu itu jadi laki-laki kok lemes banget. Semangat, dong!" Ren memegang bahu Fairuz, tapi Fairuz segera menampik dengan keras. "Wey, sabar dong."

Fairuz tiba-tiba bangkit dari duduknya dan menatap kami satu persatu dengan tatapan murka dan cemas.

"Apa kalian semua ini tak khawatir, hah?!" ujar Fairuz lantang. Suasana kamar mendadak menjadi kaku.

"Khawatir?" Tanyaku. "Maksudmu..."

"Teman kita baru saja mati kemarin!" Kini Fairuz mulai meninggikan suaranya. "Apa kalian nggak khawatir?! Takut! Bisa saja pembunuh itu akan mengincar kita!"

"Terus apa yang mau kita lakukan? Bersikap murung sepanjang waktu seperti kamu? Atau menangis saat malam?" Ledek Ren.

"Kau!" Fairuz mencoba menyerang Ren, tapi Ren mendorong Fairuz dengan kuat hingga dia terduduk di kasurnya. Gray langsung mendekat dan memegang bahu Ren, isyarat agar dia bersikap lebih sabar.

"Ruz, coba ingat lagi apa yang dikatakan pak guru kemarin." ujarku. "Kecemasan berlebih tidak akan bermanfaat bagi siapapun, kecuali pembunuh itu sendiri. Lagipula kami semua juga khawatir, jelas. Tapi bukan berarti kita harus larut dalam kecemasan, kan."

"Bener yang dikatakan Al." Imbuh Sam. Nampaknya dia sudah mengumpulkan nyawanya kembali. "Kita semua kan selalu bersama. Berpikirlah positif."

"Berpikir positif bagaimana?" balas Fairuz. "Andy kemarin juga dibunuh di depan kita semua. Saat dia berkumpul dengan pak guru dan semua murid saat di aula. Apa kalian lupa?"

"Baiklah tuan Fairuz yang terhormat." Sela Ren. "Jadi apa saranmu? Apa kita harus berteriak-teriak seperti orang gila sepertimu juga?"

Fairuz bangkit dan mencoba menyerang Ren kembali. Tapi sadar akan perbedaan kekuatan di antara mereka, Fairuz melengos pergi.

"Hei, kau mau ke mana?"

"Sudahlah, Al." Sela Ren. "Biarkan anak manja itu pergi. Mungkin dia mau keluar mencari mamanya."

"Ren, kamu itu terlalu kasar tadi. Sabarlah sedikit." Kini Gray yang angkat bicara.

"Dia itu laki-laki, jadi memang harus dibeginikan. Memangnya cuma dia saja yang khawatir?" Suara Ren menurun sambil mulai memunculkan raut muka cemas. Suasana menjadi senyap.

***

Setelah shalat maghrib, kami semua berkumpul di ruang makan. Setelah semua murid dan guru telah dipastikan hadir semua, dimulailah makan malam. Porsi yang diberikan pada kami dikurangi dari yang seharusnya, agar persediaan makanan kami cukup sampai kami bisa keluar pulau, entah kapan tersebut tiba.

Beberapa guru terlihat mondar-mandir di sekitar pintu masuk dan membawa senter. Mungkin mencegah kejadian di aula terulang. Para siswa pun membawa handphone mereka masing-masing, agar bisa menjadi penerang kalau mati lampu mendadak seperti kemarin. Jika saja saat malam kemarin kami tidak dilarang membawa handphone di aula, mungkin Andy masih hidup. Tapi sudahlah. Tak ada gunanya juga menyalahkan.

Ruangan itu terdapat lima buah meja panjang. Empat untuk siswa di tengah ruangan dan satu di depan untuk para guru. Susunan ini mengingatkanku pada ruang makan di dalam film Harry Potter.

"Hei, Al." Panggil Iskandar yang duduk di depanku. Dia teman sekelasku. Perawakan dan tingginya hampir sama denganku dengan wajah yang selalu terlihat ceria. Kausnya berwarna hitam dengan gambar kepala tengkorak besar di depannya.

"Hmm." Jawabku menggumam karena sedang mengunyah makanan.

"Bagaimana kalau tiba-tiba Setan Merah itu masuk lagi dan membunuh salah satu di antara kita?" Mendengar ucapan Iskandar, Fairuz yang semula cemas menjadi tambah pucat pasi. Kaus warna kuning dengan tulisan "Always Happy" dan emoticon senyum di bagian depan yang dikenakan Fairuz nampaknya tak dapat menolong pemakainya dari lilitan kecemasan.

"Hei, itu nggak lucu tahu. Kalau ngomong yang baik-baik, dong. Omongan itu doa." Sahut Mehmed. Dia juga teman sekelasku dan satu kamar dengan Iskandar. Perawakannya kecil tetapi otot-ototnya membuat dia terlihat lebih kokoh, berbeda dengan Sam yang terlihat agak rapuh.

"Lho, aku emang nggak niat melucu dan aku juga nggak niat mendoakan buruk." Balas Iskandar dengan wajah tanpa dosa. "Toh lagipula, kematian semacam itu cuma bisa menimpa orang yang terlaknat."

"Hush!" Kataku lirih tapi tegas. "Jaga omongan, dong. Kamu secara nggak langsung menuduh Friz dan Andy."

"Sebenernya itu bukan tuduhan kosong juga, sih." Timpal Ren. Kaus merah tanpa lengannya membuat Ren terkesan orang yang keras. "Siapa juga yang nggak tahu kelakuan bejat mereka."

"Maksudmu hubungan Friz dengan Emina?" Tanya Sam penasaran.

"Oh, itu? Aku juga pernah denger gosipnya. Apa yang tentang Friz menghamili Emina itu?" Tanyaku.

"Nah, itu." Seru Mehmed disambut suara "ssstt" dari hampir semua teman semeja kami. "Maaf, maaf. Tapi memang dia kurang ajar! Itu pasti azab dari Allah!" Ujarnya lebih lirih tapi dengan nada kesal yang kental yang dilanjut dengan sumpah serapah. Setahuku, Emina adalah siswi SMA khusus putri yang letaknya agak dekat dengan sekolah kami. Dia menjadi primadona di sekolah kami yang semua siswanya laki-laki.

"Katanya dia depresi berat pas ketahuan hamil. Terus akhirnya dia tewas tersambar bus, entah dia melakukannya sengaja karena niat bunuh diri atau dia tak hati-hati saking depresinya." Lanjut Gray memberi keterangan lanjutan.

"Sayang, ya. Padahal dia cantik. Kelihatan alim pula." Imbuh Leon yang juga teman sekelasku. Dia termasuk anak yang paling peduli dengan penampilan, terbukti dengan pakaian yang dia kenakan. Kemeja katun putih dengan gambar pohon-pohon kelapa dan kapal-kapal kecil, sangat cocok dengan tema liburan pantai. "Tapi kalau dia sampai bisa dihamili, berarti sebenarnya dia bukan anak baik-baik juga, dong."

"Iya, ya. Tapi mesti dia ditipu Friz dan semacamnya. Tahu sendiri bocah itu kelakuannya seperti apa." Ujar Ren geram. Seingatku, gaya hidup Friz memang paling glamour, rutin menyambangi club, suka ikut balapan liar. Wajah yang cukup tampan ditambah dompetnya yang selalu terisi penuh membuat dia menjadi perhatian cewek-cewek. Tapi tak kusangka, Emina tipe cewek yang gampang tergoda juga.

"Andy juga sebelas dua belas sama Friz." Imbuh Iskandar. "Aku dengar dia itu pakai narkoba."

"Kalau aku pernah lihat secara langsung dia mabuk." Balas Gray.

"Serius?" Tanyaku.

"Serius, lah. Tuh, tanya aja Fairuz. Dia juga deket dengan mereka berdua, kan?" Tunjuk Gray. Fairuz yang sedari diam mendadak menengok ke arah kami dengan wajah pucat pasi.

"Hey, bener nggak apa yang dibilang Gray?" Desak Iskandar.

Belum sempat Fairuz menjawab, Pak Sahin berdiri memberi pengumuman.

"Anak-anakku semua. Kita semua tahu kejadian tidak menyenangkan kemarin..."

Melihat Pak Sahin berdiri dan berpidato membuat aku jadi sedikit merinding. Bukannya kemarin Andy tewas saat kami semua berkumpul di satu tempat mendengar pidato Pak Sahin. Akupun mengeluarkan handphone dari saku celanaku, siapa yang tahu kalau mendadak mati lampu. Ternyata, beberapa orang berpikiran sama denganku, mengeluarkan handphone mereka masing-masing.

"Oleh karenanya, bapak bersama para guru sudah memutuskan bahwa kita akan mengadakan jaga malam bergiliran."

Mendengar itu, semua siswa riuh. Beberapa terperangah, sebagian terkejut, sebagiannya justru bersemangat, dan ada juga yang memasang tampang hampir pingsan.

"Keren banget! Kita mungkin aja menangkap Setan Merah itu!" Kata Ren penuh semangat.

"Haduh, celaka bener. Nyusahin banget." Gumam Iskandar.

Aku melihat Gray dan Sam. Sama sepertiku, mereka juga bingung mau berekspresi seperti apa. Bukankah Pak Sahin tahu kalau kemungkinan besar orang dalamlah pelakunya. Atau apakah beliau punya rencana.

"Pak, bukannya itu berbahaya?" Leon bertanya seolah mewakiliku. Pertanyaannya agaknya diiyakan banyak murid juga.

"Ya. Memang ada resiko terjadi hal yang berbahaya. Tetapi jika tidak melakukan ini, justru akan lebih berbahaya. Pembunuh itu bisa saja berkeliaran dengan bebas karena keadaan villa yang sunyi. Di sisi lain, kita semua juga akan merasa tidak aman sepanjang malam karena takut kalau pembunuh tersebut berkeliaran."

Kalau dipikir, agaknya benar juga yang dikatakan Pak Sahin.

"Oleh karenanya, bapak melakukan ini sebagai tindakan pencegahan dan agar kita semua merasa aman." Lanjut Pak Sahin, kini sambil menatapku. Seolah jawaban yang diberikan Pak Sahin hanya ditujukan untukku.

"Bapak lanjutkan. Jadwal jaga malam dibagi menjadi tiga shift. Pertama, jam sembilan sampai jam dua belas malam. Kedua, jam dua belas sampai setengah tiga malam. Ketiga, jam setengah tiga malam sampai subuh. Kemudian pembagian jadwal jaga malamnya adalah ..."

***

"Al, bangun. Al."

Aku mengusap mataku. Ternyata Gray yang membangunkanku.

"Ada apa?"

"Giliranmu jaga malam?"

Masih dalam posisi berbaring, aku meraih handphone yang kuletakkan di meja. Jam 11.53. Aku melirik Sam yang tidur di kasur sebelah kiriku. Dia sudah bangun dan bersiap-siap. Akupun duduk sambil mengurangi kantuk.

"Di mana Ren dan Fairuz? Bukannya kalian giliran jaga bareng?" Tanyaku, dengan keadaan masih mengantuk.

"Paling mereka sebentar lagi datang." Balas Gray sambil merebahkan diri di kasur, bersiap untuk tidur. Akupun bangkit dari tempat tidur, memakai kaus putih dengan tulisan berwarna hijau "Selamatkan Bumi" dengan gambar bola dunia yang kudapat dari acara menanam 1.000 pohon di sekolah bulan lalu, memasukkan handphone di saku celana cargo selutut warna krem, dan memasukkan senter, sebotol air mineral, dan beberapa bungkus permen dan camilan dalam tas selempang hitam. Setelah persiapan selesai, barulah Fairuz dan Ren masuk kamar. Tapi wajah Fairuz terlihat cemas.

"Fairuz, kenapa wajahmu? Ada apa?" Tanyaku.

"Gak apa-apa. Dia memang terlalu pengecut jaga malam. Tiap menit dia melihat jam, ingin cepat-cepat balik ke kamar. Baru satu jam keliling villa, dia seperti mau nangis." Jelas Ren panjang lebar.

Sebenarnya aku mau menenangkan Fairuz, tapi jadwal jaga malamku sudah mulai. Lagipula, tidur mungkin obat penenang paling ampuh buat Fairuz.

Kamipun keluar. Saat ini, aku mendapat giliran jaga malam dengan Sam, Iskandar, Leon, dan Mehmed. Pak Budi dan Pak Yanto, guru sejarah kami, juga turut serta. Kami dibagi dua kelompok. Kelompok pertama, Sam, Mehmed, dan Pak Budi. Sisanya kelompok kedua.

Bersama kelompokku, kami memutari villa lantai dua, sementara kelompok satunya lagi berkeliling di lantai satu. Walaupun tengah malam, suasana malam itu masih saja gerah.

"Ngomong-ngomong, desain villa ini keren, ya." Celetuk Leon. "Mirip puri-puri di Eropa."

"Iya. Hanya saja dengan ukuran lebih kecil." Imbuhku.

"Setahu bapak, villa ini dulunya milik salah satu putra tak resmi bangsawan Belanda." Jelas Pak Yanto. "Saat masa-masa kolonialisme, dia pindah ke sini dan membangun villa ini untuk rumah pribadinya."

"Ooh." Ujar kami bertiga hampir serempak, berusaha paham.

"Tapi katanya, dulu villa ini penuh dengan lukisan?" Tanya Leon lagi. Aku baru ingat kalau Leon cukup tertarik dengan sejarah.

"Ya, memang benar. Lukisan malaikat dan orang-orang suci." Balas Pak Yanto. "Tapi saat keturunan pemilik villa ini menjadi mualaf sekitar abad sembilan belas, dia menghapus lukisan-lukisan tersebut."

"Lantas bagaimana ceritanya pak kok sekarang ini menjadi villa pribadi sekolah kita?" Tanyaku.

"Bapak juga tak tahu pastinya. Tapi kalau tidak salah, bibi dari nenek dari pihak ibu pendiri yayasan sekolah kita itu menikah dengan keturunan tunggal dari pemilik villa ini."

"Sebentar, pak." Sela Iskandar. "Nenek dari bibi pendiri yayasan ..."

"Bukan." Potong Leon. "Ibu dari bibi yang benar."

"Bukan." Sergah Iskandar. "Pokoknya ada neneknya. Iya kan, Al?"

"Entah. Yang kuingat ada nenek, ada ibu, ada bibi. Coba ulangi lagi pak tadi."

"Ibu dari nenek yang benar. Eh, tunggu. Kok ibu dari nenek. Bibi dari nenek apa, ya?" Kini Pak Yanto sendiri yang kebingungan. "Sudahlah, pokoknya diambil hikmahnya saja."

"Memang hikmah apa pak yang bisa dipetik dari cerita tadi." Sindirku.

"Sudahlah. Daripada membahas itu, lebih baik kita tebak-tebakan sejarah. Misalnya ..."

"Ya ampun, pak. Liburan kok masih aja bahas pelajaran." Protes Iskandar seketika yang membuatku tertawa. Tapi Leon terlihat menanti teka-teki dari Pak Yanto.

"Lho, belajar itu kan proses kesinambungan dan terus menerus sampai kita ke liang lahat." Balas Pak Yanto.

"Bapak ini. Ini kan liburan, ya istirahat dulu dong, pak." ujar Iskandar lagi. "Mana situasinya sedang seperti... Hey, apa itu?"

Kami melihat ke arah yang ditunjukkan Iskandar, di belokan lorong. Tiba-tiba, seseorang di keremangan berlari cepat dan menuju belokan lorong.

"Siapa itu!" Seru Pak Yanto dan kemudian berlari mengikuti sosok misterius itu. Kami bertigapun mengikutinya.

"Hati-hati, pak." Ujar Iskandar sambil berlari di samping Pak Yanto. "Kalau tak hati-hati nanti celaka. Bagaimana kalau mendadak mati lampu lagi seperti kemarin." Mendengar ucapan Iskandar, aku merogoh tas selempangku, mengambil dan menggenggam senter di tangan kananku.

"Kita harus cepat menangkap orang itu. Siapa tahu dia pelaku itu!" Ujar Pak Yanto murka.

Kami sudah berbelok dan sosok itu sudah setengah jalan menuju belokan berikutnya. Aku sendiri tak begitu jelas tentang postur tubuhnya karena dia memakai baju terusan longgar dengan garis hitam putih dengan rambut panjang sebahu. Kakinya menggunakan kaus kaki putih dengan sepatu berwarna gelap. Dia juga memakai sapu tangan putih. Hal ini membuat kulitnya tak terlihat.

Kami berempat berlari sekencang mungkin untuk menyusul sosok itu. Orang itu sudah menghilang di belokan lorong. Aku makin bersemangat dan tak terasa berlari di posisi paling depan. Pak Yanto yang cukup tambun berada di bagian paling belakang.

"Cepat, sebelum dia menghilang!" Seru Pak Yanto terengah-engah.

Akupun berusaha menambah kecepatanku. Saat tiga perempat jalan lorong sudah kami tempuh...

Bruk!

Pak Yanto, Iskandar, dan Leon yang berada di belakangku terpeleset. Aku ingin menolong mereka, tapi tak ada kesempatan kedua, pikirku. Toh mereka hanya terpeleset. Jika dia menghilang, hidup kami semua akan selalu terancam. Kutambah kecepatan dan setelah belokan ini, aku akan berlari lebih kencang untuk menyusulnya. Akupun berbelok dan ...

Deg!

Dia bukannya sudah berlari jauh seperti tadi atau menghilang di udara yang tipis. Tapi dia di depanku. Tepat di depanku. Bukannya berlari, tapi dia menungguku di belokan ini.

Dalam detik itu juga, keberanianku menguap seketika, berganti ketakutan dan keterkejutan yang mencekik. Karena berlari terlalu cepat, aku tak dapat menghentikan langkahku tiba-tiba. Terebih tenagaku tergerus, angin mendorongku mendekat ke sosok itu. Jarak kami makin mendekat. Rambut panjang yang menutupi wajah orang itu tersibak, menampilkan sebuah topeng polos yang mengerikan. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Pasrah.

Buk!

***

Minggu, 20 Desember 2015

Tragedi Villa

"Anak-anak, tak perlu berbasa-basi. Kalian tentunya sudah paham alasan kalian dipanggil di aula ini."

Walaupun terisi sekitar enam puluh orang siswa dan sepuluh guru, aula ini termasuk sepi dan tenang. Selain suara dari Pak Sahin, kepala sekolah kami, hampir tak ada orang lain yang berbicara, kecuali sekedar bisikan dari beberapa siswa.

"Bapak tahu kalau memang ada beberapa rumor kurang sedap yang tersiar tentang keberadaan Setan Merah. Tapi kita tidak boleh mempercayai hal tak berdasar tersebut karena itu dapat memperburuk keadaan. Intinya, kita tunggu sampai keadaan agak kondusif dan ..."

"Hei, Al, apa menurutmu rumor itu benar?" Ujar Gray lirih yang berdiri di samping kiriku. Dia adalah temanku sejak SMP. Badannya lebih tinggi sekitar 5 cm dariku dan atletis. Mengenakan kaus hitam polos dan celana militer selutut, dia sudah mirip tentara.

"Entah." jawabku. "Tapi jika memang Andy benar-benar yakin dengan yang dia lihat, bisa jadi kita harus waspada."

"Apa mungkin kita tanya Andy saja setelah ini?" Usul Sam yang berdiri di samping kananku. Dia adalah teman sekelasku. Sedikit lebih pendek dariku dan terlihat kurus. Wajahnya agak mancung dan raut wajahnya menampakkan kalau dia orang yang cerdas dan berpendidikan.

Aku menoleh jauh ke kanan ke arah Andy berdiri. Dia terlihat berkeringat, entah karena cemas atau gerah karena El Nino berkepanjangan. "Ya, bisa-bisa. Coba kita tanyakan dia nanti untuk memastikan, itupun jika dia tak terlalu shock dengan kematian Friz."

"Untuk menghindari kejadian serupa, diharap para siswa tidak menjelajah bukit lagi." Lanjut Pak Sahin. Tanpa pengeras suara, suara Pak Sahin mampu terdengar jelas di seisi aula. "Kegiatan outbond di bukit akan kami tiadakan. Selain itu ..."

Pet!
Pidato Pak Sahin berhenti saat listrik mati secara tiba-tiba, berganti dengan suara riuh para siswa.

"Ada apa ini?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tapi percuma. Menutup atau membuka mata tak ada bedanya.

"Pak Budi, coba tolong periksa gensetnya." Perintah Pak Sahin terdengar jelas di kegulitaan ruang aula.

"Baik, pak." Balas Pak Budi. Sesaat kemudian, suara pintu aula utama terbuka.

"Jangan-jangan itu ulah Setan Merah." Ujar Sam ketakutan.

"Diamlah, Sam!" jawab Gray setengah membentak. "Ini hanya kesalahan teknis saja. Jangan membuat keadaan jadi tambah runyam."

Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Di tengah riuhnya para siswa, hampir tak ada yang bisa kulihat. Tapi tunggu, aku rasanya melihat sedikit cahaya redup agak jauh di sebelah kananku. Jelas bukan senter atau lampu.

Wuss. Tiba-tiba pintu yang menghubungkan ruang aula langsung dengan pekarangan terbuka, menjadikan angin malam masuk menerpa mereka yang ada di aula.

Byar! Lima menit kemudian, akhirnya lampu kembali menyala. Aku bernafas lega. Tapi itu tak lama.

"Waaah! Hei, Andy!" tiba-tiba beberapa siswa berteriak. Aku menuju ke sumber suara. Setelah menyibak kerumunan, kutemukan tubuh Andy terlentang dengan luka sayatan di lehernya. Tidak bergerak.

Aku sedikit membungkuk untuk melihat lebih jelas. Lehernya bersimpah darah. Di mulutnya ada bekas bekapan tangan. Siapa pelakunya? Tunggu, apa mungkin dia melarikan diri lewat pintu samping yang terbuka tadi.

"Jangan-jangan ini ulah Setan Merah." Ujar seseorang yang diiyakan yang lain.

"Harap tenang! Cukup!" Ujar Pak Sahin setengah berteriak. Belaiu dan para guru sudah berada di dekat Andy.

Aku bergegas memeriksa pintu tersebut dan hal-hal yang kecil yang mungkin bisa memberiku petunjuk.

"Hei, Al! Ada apa?" tanya Gray yang segera menyusulku ke pintu.

"Lihat gagang pintu ini." ujarku lebih kepada diri sendiri. "Sebelum pidato dari Pak Sahin dimulai, aku ingat kalau gagang pintu ini terdapat coretan spidol hasil keisengan bocah-bocah. Tapi sekarang, bekas spidol di bagian dalam memudar terhapus, tetapi yang berada di gagang luar masih seperti tadi."

"Tunggu. Maksudmu orang dalam pelakunya?"

"Andy diserang Setan Merah katanya. Mereka juga mengatakan kalau Setan Merah tinggal di luar, di hutan. Bila memang Setan Merah pelakunya, harusnya coretan spidol di gagang pintu luar yang terhapus." Jawabku menjelaskan.

"Atau jangan-jangan, Setan Merah sudah bersembunyi sejak tadi di dalam aula." elak Gray.

Tak berapa lama, Pak Budi masuk ruang aula melalui pintu utama.

"Ada apa ini kok rame-rame?" tanya Pak Budi.

"Kemarilah, pak. Ada siswa yang diserang." Balas Pak Sahin yang sudah berada di dekat Andy. "Periksalah, apakah dia masih hidup ataukah ..."

Pak Budi bergegas menghampiri. Dia mengecek denyut jantung dan nadi. Tapi kurasa tak ada gunanya. Luka sayatan Andy tepat di urat leher. Tak perlu pengecekanpun sudah ketahuan hasilnya.

"Dia meninggal."

***

Aku Altunsyah Fernandez, murid kelas 11 salah satu SMA elit khusus putra di sebuah kota. Sudah menjadi kebiasaan sekolah kami untuk mengadakan wisata bagi siswa kelas 11. Kelas 11 sendiri terdapat enam kelas dan tiap dua kelas memiliki tujuan wisata yang berbeda dengan kelas lainnya. Kelasku, 11-C, bersama kelas 11-D pergi ke pulau kecil tempat vila pribadi sekolah kami berdiri. Rencana kami akan wisata di sini selama lima hari. Tapi nampaknya keceriaan yang kami rencakan berubah drastis.

Di akhir hari pertama, mesin kapal kami dirusak. Entah oleh siapa. Padahal waktu tempuh dari pulau ini ke daratan utama dan sebaliknya membutuhkan kurang lebih empat jam perjalanan. Di siang hari kedua, Friz, murid kelas 11-D, terjatuh dari bukit saat sedang kegiatan outbond dan tewas seketika. Andy mengatakan bahwa ada orang yang sengaja mendorong Friz saat itu, tapi dia sendiri tak begitu jelas melihatnya. Rumorpun mengatakan bahwa Setan Merah adalah dalangnya. Untuk memastikan, aku akan menanyai Andy untuk lebih detailnya. Tapi tak disangka, justru Andy meninggal dengan keadaan mengenaskan malam itu juga.

Ngomong-ngomong, Setan Merah adalah julukan bagi seorang penjahat di daratan utama. Menurut penuturan penduduk sekitar, dia telah membunuh lima orang secara brutal, termasuk istrinya sendiri, dan kemudian kabur menaiki kapal menuju ke arah kepulauan dan menghilang. Pulau yang sedang kuinjak ini adalah salah satu bagian dari kepulauan tersebut. Saat Friz jatuh dari bukit dan Andy mengaku ada sosok yang mendorongnya, semua berpikir bahwa itu adalah ulah Setan Merah.Tapi melihat kejadian kemarin di aula, aku menjadi tidak percaya mengenai kemungkinan tersebut. Ditambah lagi dengan barang yang ada di hadapanku ini.

"Jadi ini ditemukan Pak Budi di genset, pak?" tanya Sam yang ada di sampingku.

"Benar. Beliau menemukan tali dan pemberat ini di genset." jawab Pak Sahin. "Tali ini terikat dengan saklar genset di satu ujungnya. Sedangkan ujung yang lain diikatkan ke sebuah pemberat."

"Dan pemberat itu diletakkan di atas balok es?" tanyaku.

"Benar. Seperti yang bapak katakan tadi. Tapi saat Pak Budi menemukannya, balok esnya hanya tersisa sedikit."

Pagi hari ketiga. Aku, Sam, dan Gray berada dipanggil ke kamar kepala sekolah untuk memperlihatkan benda yang ditemukan di dekat genset. Sejak berhasil menemukan anak bungsu Pak Sahin yang hilang tiga bulan lalu, aku selalu diminta tolong memecahkan berbagai macam kasus aneh oleh beliau. Tapi belum ada yang menyangkut tentang nyawa manusia sebelum ini.

"Lantas apa maksudnya ini, Al?" tanya Gray.

"Ini jelas kesengajaan." balasku.

"Kesengajaan?" tanya Sam dan Gray bersamaan.

"Tali ini diikatkan di saklar di satu sisi dan ke pemberat di sisi lain. Kemudian pemberat diletakkan di atas balok es. Saat balok es mencair, kira-kira apa yang terjadi?"

"Berarti pemberat itu akan turun..." jawab Gray.

"Dan menarik saklar. Itu membuat listrik mati." imbuh Sam.

"Tunggu," potong Pak Sahin dengan raut cemas. "Jika memang begitu, berarti orang dalam yang melakukannya?"

Aku menarik nafas panjang. "Ya. Sangat mungkin seperti itu."

"Berarti orang yang membunuh Andy adalah orang yang berada di sekitarnya saat itu?" balas Gray.

"Kenapa kau bisa menyimpulkan seperti itu?" tanya Sam.

"Coba pikir. Saat itu suasana sangat gelap. Jelas hanya orang yang ada di dekatnya yang bisa melakukannya. Kalau tidak, mana mungkin pelaku dapat membedakan Andy dengan anak lain." jawab Gray. "Pak Sahin, bukankah para guru sudah menanyai mereka yang berada di sekitar Andy saat itu?"

Pak Sahin menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi kayunya. "Memang sudah. Tapi mereka semua mengaku tak tahu apa-apa. Suasana mendadak gelap dan semuanya terkejut. Semua orang juga bubar dari barisannya saat itu."

"Lantas, apakah tak ada orang yang pakaiannya terdapat bekas darah, pak?" Kali ini Sam bertanya. "Pasti pelakunya adalah orang yang terdapat noda darah di pakaiannya jika memang pelakunya orang dalam."

"Ada, yaitu tiga orang di dekat Andy saat itu. Iskandar, Mehmed, dan Leon. Tapi bapak rasa itu karena noda darah yang muncrat saat leher Andy tersayat, tak lebih." Jawab Pak Sahin. "Bapak sendiri juga menghindari pertanyaan yang mengesankan interogasi, agar tak ada orang yang berfikir kalau pelakunya kemungkinan orang dalam. Nanti situasi bertambah runyam."

Aku sendiri juga mengamati satu demi satu orang yang ada di aula saat itu, terutama mereka yang berada di dekat Andy. Memang tak ada bekas darah pada siapapun kecuali ketiga orang yang disebutkan Pak Andy.

"Lantas bagaimana dengan kalian? Apa kamu sudah menemukan alat yang digunakan pelaku." Tanyaku. Kemarin malam setelah kejadian, kami bertiga berbagi tugas. Aku membantu Pak Sahin dalam wawancara sembari mengamati, walaupun aku berpura-pura ikut diwawancarai. Sementara Sam dan Gray mencari barang bukti.

"Ya. Kami menemukannya. Ini." Balas Sam sambil mengeluarkan sebuah pisau yang ditaruh dalam plastik hitam dari tasnya. "Kami menemukan ini di semak samping aula. Kemungkinan pelaku melemparnya sesaat setelah melakukan pembunuhan.

"Kami sudah menanyai Pak Robi, tukang masak vila. Beliau bilang kalau itu memang salah satu pisau dapur vila ini." Imbuh Gray.

"Apakah Pak Robi tahu siapa yang mengambil pisau tersebut?" Tanyaku.

"Sayangnya tidak. Beliau tak tahu menahu soal itu." Balas Gray.

"Tunggu. Sepertinya beberapa murid mengaku melihat cahaya lemah di tengah kerumunan siswa saat itu."  Imbuh Pak Sahin.

"Oh, ya. Saya juga melihatnya." Ujarku. Bodohnya aku, kenapa baru ingat sekarang. "Cahaya itu berasal dari tempat Andy berdiri."

"Ya. Murid lain juga mengatakan demikian. Apa sebenarnya itu, Al?"

"Maaf, pak. Saya juga tak tahu. Kalian memang tak melihatnya." Tanyaku pada Gray dan Sam. Tapi mereka hanya mengangkat bahu dan menggeleng.

"Lantas bagaimana? Akankah kita memberitahukan kepada para siswa bahwa orang dalam pelakunya?"

"Jangan, pak." Balasku. "Ini akan membuat semua panik. Pelaku juga malah semakin waspada. Seperti yang bapak katakan tadi, keadaan akan menjadi lebih buruk. Lebih baik, bapak memerintahkan para siswa untuk berhati-hati dan selalu berkelompok ke manapun ..."

"Ya ampun. Kayak cewek aja." potong Gray diikuti pandangan serius dari kami bertiga. "Eh, maaf. Lanjutkan."

"Jadi mungkin lebih baik untuk mengesankan kalau orang luar, dalam hal ini Setan Merah, yang menjadi pelaku pembunuhan." Jelasku. "Sementara itu, saya memohon bapak bersama para guru untuk mengamati tiap-tiap siswa untuk mencari pelakunya, tapi jangan sampai terlihat seperti sedang menyelidiki, tetapi bersikap seolah melindungi siswa dari ancaman luar."

"Baik. Bapak akan melakukan sesuai yang kamu katakan."

"Sam, kau yakin meminta tolong Pak Sahin melakukan itu?" tanya Gray saat kami bertiga telah keluar dari kamar Pak Sahin.

"Kenapa memang?" tanya Sam.

"Bukankah jika orang dalam pelakunya, para guru juga harusnya menjadi tersangka?"

"Memang benar. Tapi di kasus kematian Friz, tiap-tiap guru mendampingi para murid dari awal sampai akhir. Jadi mereka selalu berada di tengah murid sehingga tak mungkin menjadi pelaku yang mendorong Friz. Yaah, walaupun bisa jadi terdapat trik tertentu seperti yang digunakan dalam cerita-cerita detektif. Entahlah. Aku pribadi juga tak tahu apakah ini langkah yang tepat."

"Ayolah, tuan detektif. Kamu kan sudah berkali-kali memecahkan kasus. Naluri detektifmu sudah terasah. Jadi tenang saja." ujar Gray sambil meninju lenganku. Entah dia mau memuji atau apa, tapi aku tidak terhibur. Justru seolah aku dibebani kewajiban besar untuk menguak tragedi ini.

"Lantas, ke mana kita sekarang?" tanya Sam padaku.

"Ke kamar Andy."

***

Sabtu, 18 Juli 2015

*Kami Akan Tetap Mencintai Anda*

Di awal tulisan ini, kami mewakili mahasiswa muslim yg tergabung dalam Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus Indonesia (FSLDK Indonesia) menyampaikan duka cita mendalam atas kejadian yg menimpa saudara-saudara kami di Kabupaten Tolikara, Papua pada hari ini, 17 Juli 2015 pukul 07.00 WIT.



Dengan ini pula kami ingin menegaskan bahwa sampai kapanpun, kami akan selalu berada di samping pundak mereka. Kami tak akan memejamkan mata sampai saudara kami disana mendapatkan kembali hak-hak mereka.

Kami percaya bahwa saat ini perasaan kita sebagai seorang warga Indonesia tidaklah berbeda. Tak peduli apapun agama kita, selama kita berada di tanah Indonesia, kita pasti juga ikut terluka melihat saudara kita dibakar dan dilempari batu, tepat saat mereka menghadap Tuhan mereka!

Bisa jadi benar, agama kita memang berbeda. Bisa jadi benar, kita menyembah Tuhan yang tak sama. Tapi seperti yang kita pahami bersama, kita hidup di tanah yang sama, dengan sebuah semboyan yang juga persis sama, Bhineka Tunggal Ika.

Maka kami juga yakin, bahwa kejadian di tanah Papua kali ini bukanlah karena niatan satu agama yg ingin membumihanguskan agama lainnya, karena selama ini kita telah terbiasa hidup berdampingan dalam sebuah bingkai Bhineka Tunggal Ika.

Oleh karena itu, kami ingin mengingatkan kembali kepada seluruh mahasiswa muslim di Indonesia, tentang surat cinta dari Allah kita yg Maha Bijaksana..

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS Al-An’am : 108)

Maka kami juga mengingatkan kepada saudara-saudara kami di seluruh Indonesia untuk tetap menebar kebaikan bagi siapa saja di sekitar kita. Tetap tunjukkan bahwa Islam adalah agama mulia sejak dari awalnya.

Musuh kita bukanlah orang yang berbeda agama yang ada di sekitar kita selama ini. Musuh kita adalah mereka yang sedang melecehkan martabat kita. Sampai kita benar-benar tahu siapa mereka, jangan pernah mengambil tindakan diluar nilai-nilai kemuliaan yg diajarkan Rosul kita yang mulia.
Melalui tulisan ini, kami juga mendesak agar kasus ini segera diselesaikan secara hukum dengan seadil-adilnya. Silakan dicatat, bahwa selama di atas suatu tanah itu dikumandangkan adzan, maka itulah tanah kami, dan orang-orang di dalamnya, merekalah saudara kami. Kami siap datang kapanpun mereka membutuhkan.

Dan kepada seluruh masyarakat Indonesia, saya pastikan bahwa kejadian ini tidak akan mengubah senyuman manis kami kepada anda. Kami dilahirkan ke dunia untuk menebarkan kebaikan di setiap jengkal tanah yang kami pijak, di setiap orang yang kami temui, siapa saja, apapun agama mereka. Maka, kami akan tetap mencintai anda..InsyaAllah, InsyaAllah..

-Mewakili FSLDK Indonesia,
Muhammad Syukri Kurnia Rahman-

Jamaah Shalat 'Id Diserang di Papua

SEBUAH Masjid di Karabuga, Kabupaten Tolikara Papua dikabarkan diserang oleh sekira 70 orang. 

Penyerangan itu terjadi saat Jamaah melakukan shalat Idul Fitri 1436 H, Jum’at (17/7/2015). Demikian seperti dilansir detik.



Para penyerang mulanya melakukan pelemparan ke arah warga yang sedang salat pada sekitar pukul 07.10 WIT. Saat warga berhamburan menyelamatkan diri ke Koramil setempat, penyerang mulai membakar rumah yang juga difungsikan sebagai kios.

Makna 'Idul Fithri. Bukan 'Kembali Suci'?

Banyak sekali masyarakat Indonesia yang sering mengartikan 'Idul Fithri sebagai "kembali suci". Padahal tidak demikian adanya. Lantas, apa makna sebenarnya 'Idul Fithri?



Makna 'Ied' Bukan Kembali

Kata 'Ied' (عيد) dalam Iedul Fithri sama sekali bukan kembali. Dalam bahasa Arab, Ied (عيد) berarti hari raya. Bentuk jamaknya a'yad (أعياد). Maka setiap agama punya Ied atau hari raya sendiri-sendiri.

Minggu, 21 Juni 2015

Jangan Buang Tulisanmu

Kita bisa menulis setiap hari. Tapi tidak setiap hari kita bisa menghasilkan tulisan bagus. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, seperti lelah, pikiran sedang penuh, dan banyak hal lainnya. Banyak penulis pemula yang memilih menghapusnya tanpa pikir panjang. Padahal, banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk tulisan yang kurang bagus tersebut.

Ketika kamu punya niat untuk menghapus tulisanmu, coba pertimbangkan lagi. Pikirkan waktu dan tenaga yang sudah kamu sisihkan untuk mengerjakan tulisan tersebut. Apabila kamu harus menulis ulang, apakah kamu punya energi yang sama besar? Jadi, apa sih yang bisa kamu lakukan untuk tulisanmu yang terasa kurang bagus atau harus disisihkan dari cerita?

Satu Tuhan, Satu Agama

Dalam beberapa hari belakangan, ada sejumlah SMS yang masuk ke HP saya. Isinya, meminta saya mengkaji sebuah buku berjudul Satu Tuhan Banyak Agama, Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi dan al-Jili, (Mizan, 2011). Rabu (19/10/2011), saya baru sempat mencari buku ini di sebuah toko buku. Setelah membaca dengan seksama, saya segera berusaha memberikan sejumlah ulasan berikut ini.
Dari segi penampilan luar, buku karya Dr. Media Zainul Bahri (dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta) tampak berwibawa, dengan tebal 500 halaman lebih. Ada pengantar dari Rektor UIN Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat dan juga pujian dari Prof. Kautsar Azhari Noer, guru besar Perbandingan Agama, UIN Jakarta. Dengan tampilan semacam itu, wajar jika orang menyangka bahwa buku ini berbobot ilmiah yang tinggi. Apalagi, ini juga disertasi doktor di UIN Jakarta.

Senin, 06 April 2015

Seputar April Mop

Dalam kebudayaan barat, tiap tanggal 1 April seolah merupakan “pelegalan” untuk berbohong atau mengerjai keluarga atau kawan mereka dengan lelucon atau aksi jahat, tanpa perlu merasa bersalah.



Kegiatan usil tersebut kian berkembang sehingga menjadi tren tiap awal April, membuat orang-orang jenaka menjadi lebih kreatif untuk meyiapkan lelucon menarik dan unik untuk mengusili kerabat mereka.

Namun tahukah Anda? Munculnya istilah April Fools' day atau April Mop ternyata diprakarsai oleh seorang Raja Inggris, King George III.

Hari ini di tahun 1789, King George III melakukan suatu aksi historis yang ternyata hanyalah sebuah lelucon: Ia berpura-pura mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Raja Inggris.
Mendengar kabar itu, segenap warga Inggris turun ke jalan, larut dalam euforia suka cita dan kebebasan setelah turunnya Raja, namun setelahnya mereka langsung dijebloskan ke penjara. Sejarah April Fools yang sangat mengesankan hingga kini.

Peristiwa lain yang dianggap sebagai asal mula April Fools' day adalah saat Paus Gregory XIII menetapkan keputusan untuk merubah waktu tahun baru pada penanggalan “kalender Gregorian” dari 1 April menjadi 1 Januari. Keputusan itu tidak disampaikan dan diterima oleh semua rakyat, sehingga sekolompok orang masih tetap merayakan tahun baru pada tanggal 1 April. Mereka yang masih merayakan tahun baru pada tanggal 1 April dianggap sebagai orang dungu sehingga muncul istilah “April Fools.”

Sumber: National Geographic

Selasa, 17 Maret 2015

Sebuah Fiksi tentang Fabian: Masa Lalu Uang dan Masa Depan Dunia (Bag. 3)

Untuk melihat cerita sebelumnya, klik "di sini".

...

Secara perlahan-lahan kekayaan riil dari negara mulai berpindah tangan ke Fabian dan kawan-kawannya dan mereka memiliki kendali yang semakin lama semakin besar atas kehidupan masyarakat. Namun, pengendalian mereka belum selesai. Mereka menyadari bahwa situasi tidak akan benar-benar aman sebelum semua orang berhasil dikendalikan.

Kebanyakan orang yang menentang sistem ini bisa dibuat diam dengan tekanan finansial, ataupun dengan ejekan publik. Untuk melakukan ini Fabian dan kawan-kawan membeli kepemilikan dari semua koran, TV, dan radio dan menyeleksi orang-orang apa yang boleh bekerja di dalamnya. Kebanyakan dari orang-orang ini sebenarnya benar-benar ingin memperbaiki keadaan, tetapi mereka tidak menyadari bagaimana mereka sedang diperalat. Solusi mereka selalu terarah kepada akibat dari masalah, bukan penyebab dari masalah.

Ada bermacam-macam surat kabar, satu untuk sayap kanan, satu untuk sayap kiri, satu untuk kelas pekerja, satu untuk kaum pengusaha, dan seterusnya. Tidak masalah koran yang mana yang Anda percayai, selama Anda tidak memikirkan penyebab awal dari permasalahan.

Rencana Fabian sudah hampir selesai, seluruh negara saat ini berhutang kepadanya. Melalui pendidikan dan media, dia mengendalikan pikiran masyarakat. Orang-orang hanya akan berpikir sejauh yang dia inginkan.

Setelah seseorang memiliki jauh lebih banyak uang dari yang sanggup dia gunakan, apa lagi yang akan menyenangkan hatinya? Bagi mereka yang memiliki mentalitas menguasai, jawabannya adalah kekuasaan, kekuasaan mutlak atas kemanusiaan.

Kebanyakan tukang emas akhirnya mengarah ke sana. Mereka mengetahui rasanya kaya raya, dan perasaan itu tidak lagi cukup untuk memuaskan mereka. Mereka membutuhkan tantangan dan kesenangan baru, dan kekuasaan atas massa adalah permainan berikut.

Mereka percaya mereka adalah kelompok superior atas lainnya. “Adalah hak dan kewajiban kami untuk mengatur. Masyarakat tidak tahu apa yang baik untuk mereka. Mereka perlu dikendalikan dan diatur. Mengatur adalah takdir dari kami.”

Di seluruh penjuru negeri, Fabian dan kawan-kawan memiliki banyak perusahaan pembiayaan. Memang, masing-masing perusahaan dimiliki secara pribadi. Secara teori mereka adalah saingan masing-masing. Namun, kenyataan yang sebenarnya adalah mereka semua saling bekerja sama dengan seksama. Setelah berhasil membujuk pemerintah, mereka mendirikan sebuah institusi yang mereka sebut dengan Bank Sentral. Mereka bahkan tidak perlu mengeluarkan modal untuk mendirikannya, mereka menciptakan kredit dengan menggunakan uang deposit masyarakat.



Institusi ini tampak sebagai badan yang meregulasikan suplai uang dan merupakan bagian dari pemerintah. Tetapi anehnya, tidak ada wakil pemerintah yang diizinkan untuk duduk di badan Direktur di dalamnya.

Pemerintah tidak lagi meminjam secara langsung dari Fabian, pemerintah sekarang meminjam dengan cara menerbitkan surat hutang kepada Bank Sentral. Jaminan dari surat hutang ini adalah penerimaan pajak tahun berikut. Ini adalah bagian dari rencana Fabian, menyingkirkan kecurigaan orang kepadanya dengan membuat kesan seolah-olah suplai uang dikendalikan oleh pemerintah. Kenyataannya, di balik layar, dialah yang memegang kendali.

Secara tidak langsung, dialah yang mengendalikan pemerintah. Tidak penting siapa yang terpilih sebagai wakil rakyat di pemerintahan. Fabianlah yang memegang kendali atas uang, darah dan nyawa dari perdagangan sebuah bangsa.

Pemerintah selalu mendapatkan uang yang mereka inginkan, tetapi bunga selalu dikenakan pada setiap pinjaman. Semakin lama semakin banyak orang yang memerlukan bantuan sosial pemerintah, dan tak lama kemudian pemerintah sadar bahwa mereka kesulitan bahkan hanya untuk membayar bunga saja, apalagi hutang pokok.

Sebagian orang mulai bertanya, “Uang adalah sistem yang diciptakan manusia. Bukankah seharusnya sistem ini bisa diubah agar uang menjadi pelayan, bukan sebaliknya?” Namun semakin lama jumlah orang-orang ini semakin sedikit dan suara mereka hilang di tengah sebuah masyarakat yang tidak lagi peduli.

Pemerintahan berubah, partai yang berkuasa juga bisa berubah, namun kebijakan utama tidak. Tidak masalah siapa yang menjadi pemerintah, rencana besar Fabian semakin lama semakin mendekati kenyataan dari tahun ke tahun. Kebijakan pemerintah tidak lagi ada artinya. Rakyat mulai dikenai pajak mendekati ambang batas mereka, mereka tidak lagi sanggup membayar. Waktunya sudah hampir matang bagi Fabian untuk aksi finalnya.

10% dari suplai uang masih dalam bentuk uang kertas dan koin. Ini harus dimusnahkan sama sekali tetapi tidak boleh menimbulkan kecurigaan publik. Selama masyarakat masih memiliki uang (kertas maupun koin), mereka bebas untuk membeli dan menjual sesuka hati mereka, mereka masih memiliki sedikit kontrol atas kehidupan mereka.



Tidaklah selalu nyaman untuk membawa uang tunai dan koin. Cek juga tidak bisa diterima bila sudah keluar dari sebuah komunitas tertentu. Oleh karena itu, sebuah sistem yang lebih baru perlu dipikirkan. Sekali lagi Fabian memiliki jawabannya. Organisasinya akan menerbitkan sebuah kartu plastik yang memiliki data pemegangnya: nama, foto, dan nomor penduduk.


Saat kartu ini akan digunakan, pedagang akan menyambungkan komputernya untuk mengecek kredit dari kartu tersebut. Seandainya tidak ada masalah, pemegang kartu ini boleh membeli barang seharga limit tertentu.

Awalnya orang akan diizinkan untuk berhutang sedikit. Seandainya uang ini dibayarkan dalam sebulan, maka tidak ada bunga yang perlu dibayarkan. Ini tidak masalah untuk kelas pegawai, tetapi bagaimana ini bisa berlaku juga untuk para pedagang dan pengusaha? Mereka harus mempersiapkan mesin-mesin, kemudian menjalankan proses manufaktur dari barang yang akan mereka produksi, membayar gaji pegawai, menjual barang dagangannya dan membayar kembali hutang mereka. Bila melewati satu bulan, mereka akan dikenai bunga 1.5% per bulan dari nilai hutang mereka. Total 18% setahun.

Pengusaha tidak memiliki jalan lain selain menambahkan 18% ke dalam nilai jual dagangan mereka. Namun kelebihan uang / kredit (18%) ini tidak pernah dipinjamkan kepada siapapun. Di seluruh negeri, para pengusaha disuruh menjalani misi mustahil untuk membayar kembali $118 untuk setiap $100 yang mereka pinjam, tetapi kelebihan $18 ini tidak pernah diedarkan oleh Bank sejak awal.

Namun Fabian dan kawan-kawan menikmati status yang semakin penting di masyarakat. Mereka menjadi orang-orang penting yang terhormat. Pengumuman dan pendapat mereka tentang finansial dan ekonomi bahkan bisa disetarakan dengan sabda suci spiritual.

Di bawah beban bunga yang terus bertambah, banyak perusahaan kecil menengah yang mulai bangkrut. Lisensi-lisensi khusus diperlukan untuk menjalankan operasi-operasi tertentu, jadi perusahaan-perusahaan yang tersisa memiliki semakin banyak hambatan dalam berusaha. Fabian memiliki dan mengendalikan semua perusahaan besar beserta ratusan anak perusahaan mereka. Perusahaan-perusahaan itu tampak seperti saingan satu sama lain, tetapi dialah yang ada di balik semua perusahaan itu. Para kompetitor perlahan-lahan dipaksa gulung tikar. Tukang kayu, konstruksi, listrik dan industri-industri kecil menengah menjalani takdir yang sama, dibeli oleh perusahaan raksasa milik Fabian yang memiliki proteksi dan perlakuan khusus dari pemerintah.

Fabian menginkan kartu plastik ini untuk menggantikan semua uang kertas dan koin. Rencananya adalah saat semua uang kertas dan koin ditarik, hanya bisnis yang menggunakan kartu komputerlah yang akan beroperasi.

Dia mengetahui bahwa suatu ketika orang-orang akan kehilangan kartu mereka dan tidak bisa membeli ataupun menjual sebelum identitas mereka bisa dibuktikan. Dia ingin agar dibuatkan sebuah hukum : sebuah hukum yang mengharuskan semua orang untuk memiliki sebuah nomor identifikasi yang ditato di dalam tangan mereka. Nomor ini cuma akan terlihat dengan sinar tertentu, yang dihubungkan dengan komputer. Setiap komputer akan dihubungkan dengan sebuah komputer pusat yang memungkinan Fabian mengetahui segala transaksi mengenai semua orang…


* * *

Terminologi yang digunakan saat ini untuk melukiskan sistem finansial di atas adalah “Fractional Reserve Banking.” (Cadangan Terbatas Perbankan).

Cerita yang Anda baca di atas, tentu saja, adalah fiksi.

Namun, bila Anda merasa terganggu karena cerita ini sangat mirip dengan kenyataan hidup kita, dan Anda ingin mengetahui siapa Fabian ini sebenarnya dalam kehidupan nyata, titik mulai yang baik untuk Anda pelajari adalah para tukang emas di Inggris pada abad 16 dan 17 Masehi.

Sebagai contoh, Bank of England didirikan pada tahun 1694. Raja William dari Inggris saat itu berada dalam kesulitan finansial yang besar karena perang melawan Perancis. Para tukang emas kemudian “meminjamkan” 1,2 juta pound (nilai yang amat besar pada zaman itu) dengan syarat tertentu.

Bunga yang dikenakan adalah 8%. Jangan lupa bahwa di Magna Carta sebenarnya dikatakan bahwa mengenakan dan mengumpulkan bunga (riba) atas pinjaman akan dikenakan hukuman mati. Raja William dipaksa memberikan izin kartel resmi kepada para tukang emas, sebuah hak untuk menciptakan kredit.

Sebelum itu, operasi untuk menerbitkan lebih banyak kwitansi emas daripada emas yang sebenarnya dimiliki adalah tindakan ilegal. Namun sejak izin kartel itu keluar, tindakan itu menjadi legal.

Di tahun 1694, W. Petterson mendapatkan hak kartel atas Bank of England.


Sumber:
Masa Lalu Uang dan Masa Depan Dunia
Terjemahan daei artikel Larry Hannigan

Senin, 16 Maret 2015

Sebuah Fiksi tentang Fabian: Masa Lalu Uang dan Masa Depan Dunia (Bag. 2)

Untuk melihat cerita sebelumnya, klik "di sini".

...

Setahun kemudian, Fabian pun mulai mendatangi orang-orang yang berhutang kepadanya. Orang-orang tertentu memiliki koin emas lebih dari yang mereka pinjam, tetapi ini berarti ada orang lainnya yang memiliki lebih sedikit dari yang mereka pinjam, sebab jumlah koin yang dibuat pada awalnya memang terbatas jumlahnya. Orang-orang yang memiliki koin lebih membayar kepada Fabian dan juga 5% bunganya, tetapi mereka kemudian meminjam lagi kepadanya untuk melanjutkan sistem perdagangan di tahun mendatang.

Sebagian orang mulai menyadari untuk pertama kalinya seperti apa rasanya hutang. Sebelum mereka bisa meminjam kembali kepada Fabian, kali ini mereka harus menjaminkan aset-aset kepadanya, dan mereka pun melanjutkan perdagangan selama setahun mendatang, mencoba mendapatkan 5 koin lebih untuk setiap 100 koin yang mereka pinjam dari Fabian.

Saat itu, belum ada seorang pun yang menyadari bahwa seluruh masyarakat, sekalipun mengembalikan semua hutang koin mereka, tetap tidak bisa melunasi hutang mereka kepada Fabian, karena kelebihan 5% koin emas yang merupakan kewajiban mereka tidak pernah diedarkan oleh Fabian. Tak seorang pun selain Fabian yang mengetahui bahwa adalah hal yang mustahil bagi masyaratkat ini untuk bisa melunasi hutang mereka bila ditambahkan dengan bunga, uang yang tidak pernah dia edarkan.

Memang benar Fabian sendiri juga membuat koin untuk dirinya sendiri dan koin ini akan beredar di masyarakat, namun tidak mungkin dia sanggup mengkonsumsi 5% dari semua barang di masyarakat.

Di dalam toko emasnya, Fabian memiliki sebuah ruang penyimpanan yang sangat kuat, dan sebagian masyarakat merasa lebih aman kalau menitipkan koin emas mereka kepada Fabian untuk disimpan. Fabian akan menagih sejumlah uang tertentu sebagai jasa penyimpanan untuk orang-orang tersebut. Sebagai bukti atas deposit emas mereka, Fabian memberikan mereka selembar kertas kwitansi.




Orang-orang yang membawa kwitansi dari Fabian ini bisa menggunakan kertas ini untuk membeli barang sama halnya seperti menggunakan koin emas. Dan lama-kelamaan kertas-kertas ini beredar di masyarakat sebagai uang sama seperti koin emas.

Tak lama kemudian, Fabian menemukan bahwa kebanyakan orang tidak akan menukarkan kembali kwitansi deposit mereka dengan koin emasnya.

Dia pun berpikir, “Saya memiliki semua emas di sini dan saya masih juga bekerja sebagai tukang emas. Ini benar-benar tak masuk akal. Ada ribuan orang di luar sana yang akan membayarkan bunga kepada saya atas koin-koin emas yang mereka titipkan kembali kepada saya yang bahkan tidak mereka tukarkan kembali.”

Memang benar, emas-emas mereka bukan milikku, tetapi emas-emas itu ada di dalam gudangku, dan itulah yang penting. Saya tidak perlu membuat koin sama sekali, saya bisa menggunakan koin-koin yang dititipkan kepadaku.

Mulanya Fabian sangat hati-hati, dia hanya meminjamkan sebagian kecil dari emas yang dititipkan orang kepadanya. Lama-kelamaan, karena terbukti tidak ada masalah, dia pun meminjamkan dalam jumlah yang lebih besar.

Suatu hari, seseorang mengajukan sebuah pinjaman yang nilainya sangat besar. Fabian berkata kepadanya “daripada membawa koin emas dalam jumlah sebesar itu, bagaimana kalau saya menulis beberapa lembar kwitansi emas kepadamu sebagai bukti depositmu kepadaku.” Orang itu pun setuju. Dia mendapatkan hutang yang dia inginkan tetapi emasnya tetap di gudang Fabian! Setelah orang itu pergi, Fabian pun tersenyum, dia bisa meminjamkan emas kepada orang sambil mempertahankan emas di gudangnya sendiri.

Baik teman, orang tak dikenal, maupun musuh, membutuhkan uang untuk melanjutkan perdagangan mereka. Selama orang-orang bisa memberikan jaminan, mereka bisa meminjam sebanyak yang mereka butuhkan. Dengan hanya menuliskan kwitansi, Fabian bisa meminjamkan emas-emasnya senilai beberapa kali lipat dari yang sebenarnya dia miliki. Segalanya akan baik-baik saja selama orang-orang tidak menukarkan kwitansi deposit emas mereka kepada Fabian.

Fabian memiliki sebuah buku yang menunjukkan debit dan kredit dari setiap orang. Bisnis simpan-pinjam ini benar-benar sangat menguntungkan baginya.



Status sosial Fabian di masyarakat meningkat secepat kekayaannya. Dia mulai menjadi orang penting, dia harus dihormati. Di dunia finansial, kata-katanya adalah ibarat sabda suci.

Tukang emas dari kota lain mulai penasaran tentang rahasia Fabian dan suatu hari mereka pun mengunjunginya. Fabian memberitahu apa yang dia lakukan, dan menekankan kepada mereka pentingnya kerahasiaan dari sistem ini.


Seandainya skema ini terekspos, bisnis mereka pasti akan ditutup, jadi mereka sepakat untuk menjaga kerahasiaan bisnis ini. Masing-masing tukang emas ini kembali ke kota mereka dan menjalankan operasi seperti yang diajarkan oleh Fabian.

Orang-orang menerima kwitansi emas sama seperti emas itu sendiri, dan banyak emas yang masyarakat pinjam yang akan dititipkan kembali kepada Fabian. Ketika seorang pedagang ingin membayar kepada pedagang lainnya, mereka bisa menuliskan sebuah instruksi kepada Fabian untuk memindahkan uang dari rekening mereka kepada rekening lainnya, yang akan dilakukan oleh Fabian dengan mudah dalam beberapa menit. Sistem ini menjadi sangat populer, dan kertas instruksi ini pun mulai dikenal dengan sebutan “cek.”

Pada suatu malam, para tukang emas dari berbagai kota ini mengadakan sebuah pertemuan rahasia dan Fabian mengajukan sebuah rencana baru. Besok harinya mereka rapat dengan pemerintah dan Fabian berkata, “Kertas kwitansi kami telah menjadi sangat populer. Tak perlu diragukan, Anda para wakil rakyat juga menggunakan mereka dan manfaatnya jelas-jelas sangat memuaskan. Namun, sebagian kwitansi ini telah dipalsukan oleh orang-orang. Hal ini harus dihentikan!”

Para anggota pemerintah pun mulai khawatir. “Apa yang bisa kami lakukan? Tanya mereka. Jawaban Fabian “Pertama-tama, adalah tugas dari pemerintah untuk mencetak uang kertas dengan desain dan tinta yang unik, dan masing-masing uang kertas ini harus ditandatangani oleh Gubernur. Kami para tukang emas akan dengan senang hati membayar biaya cetak ini, ini juga akan menghemat banyak waktu kami untuk menulis kwitansi.” Para anggota pemerintah berpikir “Ya, memang kewajiban kami untuk melindungi masyarakat dari pemalsuan uang dan nasehat dari Fabian ini kedengarannya memang masuk akal.” Dan mereka pun setuju untuk mencetak uang kertas ini.


“Yang kedua”, kata Fabian, “sebagian orang juga pergi menambang emas dan membuat koin emas mereka sendiri. Saya menyarankan agar dibuat sebuah hukum agar setiap orang yang menemukan emas harus menyerahkannya. Tentu saja, mereka akan mendapat ganti rugi koin yang saya buat dan uang kertas baru.”

Ide ini pun mulai dijalankan. Pemerintah mencetak uang kertas baru dengan pecahan $1, $2, $5, $10, dan lainnya. Biaya cetak yang rendah ini dibayarkan oleh parang tukang emas.

Uang kertas ini jauh lebih gampang untuk dibawa dan dalam waktu singkat diterima oleh masyarakat. Namun, di luar faktor kenyamanan, ternyata uang kertas dan koin emas yang beredar hanyalah 10% dari nilai transaksi masyarakat. Kenyataan perdagangan menunjukkan bahwa 90% nilai transaksi dilakukan dengan cara pindah buku (cek).

Rencana berikut Fabian mulai berjalan. Sampai saat itu, orang-orang membayar Fabian untuk menitipkan koin emas (uang) mereka. Untuk menarik lebih banyak uang ke gudangnya, Fabian akan membayar para depositor 3% bunga atas emas titipan mereka.



Kebanyakan orang mengira Fabian meminjamkan kembali uang yang dititipkan kepadanya. Karena dia meminjamkan kepada orang lain dengan bunga 5%, dan dia membayar para deposan 3%, maka keuntungan Fabian adalah 2%. Orang-orang pun berpikir jauh lebih baik mendapatkan 3% daripada membayar Fabian untuk menjaga emas (uang) mereka, dan mereka pun tertarik.

Volume tabungan meningkat dengan cepat di gudang Fabian. Dia bisa meminjamkan uang kertas $200, $300, $400, bahkan sampai sampai $900 untuk setiap $100 yang dia dapatkan dari deposan. Dia harus berhati-hati dengan ratio 9:1 ini, sebab menurut pengalamannya, memang ada 1 dari setiap 9 orang yang akan menarik emas mereka. Bila tidak ada cukup uang saat diperlukan, masyarakat akan curiga.

Dengan demikian, untuk $900 dolar pinjaman yang diberikan Fabian, dengan bunga 5% dia akan mendapatkan kembali $45. Ketika pinjaman + bunga ini dilunasi, Fabian akan membatalkan $900 di kolom debit pembukuannya dan sisa $45 ini adalah miliknya. Dia dengan senang hati akan membayar bunga $3 untuk setiap $100 yang dititipkan deposan kepadanya. Artinya, keuntungan riil dari Fabian adalah $42! Bukan $2 yang dibayangkan kebanyakan orang. Para tukang emas di kota-kota lain melakukan hal yang sama. Mereka menciptkaan kredit (pinjaman) tanpa modal (emas) dan menagih bunga atas pinjaman mereka.

Para tukang emas ini tidak lagi membuat koin emas, pemerintahlah yang mencetak uang kertas dan koin dan memberikannya kepada para tukang emas ini untuk didistribusikan. Satu-satunya biaya Fabian adalah ongkos cetak uang yang sangat murah. Di samping itu, dia juga menciptakan kredit tanpa modal dan menagih bunga atas pinjaman barunya ini. Kebanyakan orang mengira suplai uang adalah operasi dari pemerintah. Mereka juga percaya bahwa Fabian meminjamkan uang dari para deposan kepada peminjam baru, tetapi rasanya agak heran mengapa orang lain bisa mendapatkan uang padahal uang para deposan masih tetap tak berkurang. Seandainya semua orang mencoba mengambil uang mereka pada saat yang bersamaan, skema penipuan ini akan terekspos.

Tak masalah bila sebuah pinjaman diajukan dalam bentuk uang kertas atau koin. Fabian tinggal mengatakan kepada pemerintah bahwa penduduk bertambah dan produksi baru memerlukan uang baru, yang akan dia dapatkan dengan biaya cetak yang sangat kecil.

Suatu hari seseorang pergi menemui Fabian. “Bunga yang Anda tagih ini salah,” katanya. “Untuk setiap $100 yang Anda pinjamkan, Anda meminta $105 sebagai kembalinya. Tambahan $5 ini tidak mungkin bisa dibayarkan karena mereka bahkan tidak eksis.

”Petani memproduksi makanan, industri memproduksi barang, tetapi hanya Andalah yang memproduksi uang. Katakanlah hanya ada dua pedagang di negara ini, dan semua orang bekerja untuk salah satunya. Mereka masing-masing meminjam $100. Setahun kemudian, mereka harus mengembalikan masing-masing $105 kepada Anda (total $210). Bila salah satu orang berhasil menjual habis dagangannya dan mendapatkan $105, orang yang tersisa hanya akan memiliki $95, dia masih berhutang $10 kepadamu, dan tidak ada uang yang beredar untuk melunasi $10 ini kecuali dia mengajukan pinjaman baru kepadamu. Sistem ini bermasalah!”



“Untuk setiap $100 yang kamu pinjamkan, kamu seharusnya mengedarkan $100 kepada sang peminjam dan $5 untuk kamu belanjakan, jadi total uang yang beredar memungkinan si peminjam untuk membayar”

Fabian mendengarkan dengan tenang dan menjawab, “Dunia finansial adalah subjek yang rumit, anak muda, butuh waktu bertahun-tahun untuk memahaminya. Biarkan saya saja yang memikirkan masalah ini, dan kamu mengurus urusanmu saja. Kamu harus belajar untuk menjadi lebih efisien, meningkatkan produksimu, memotong ongkos pabrikmu dan menjadi pengusaha yang lebih cerdas. Saya siap membantu untuk urusan itu.”

Orang ini pun pergi meninggalkan Fabian, tetapi hatinya masih juga bimbang. Sepertinya ada yang tidak beres dengan sistem kerja Fabian, dan pertanyaan yang dia ajukan masih belum dijawab.

Orang-orang menghormati Fabian dan kata-katanya. Dia adalah pakar, orang yang tidak setuju dengannya pastilah orang bodoh. Lihatlah betapa negara ini bertambah maju, produksi kita juga terus bertumbuh, kehidupan kita sudah jauh lebih baik.

Untuk menutup bunga dari uang yang mereka pinjam, para pedagang dan pengusaha meninggikan harga dagangan mereka. Karyawan senantiasa memprotes mereka dibayar terlalu rendah dan pemilik perusahaan senantiasa menolak membayar lebih. Petani tidak bisa mendapatkan harga jual yang adil dari produk pertanian mereka. Para Ibu rumah tangga terus merasa tidak puas karena harga barang di pasar dinilai terlalu tinggi.


Pada suatu ketika, orang-orang akhirnya mulai berdemonstrasi, hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebagian orang tidak sanggup melunasi hutang mereka dan menjadi miskin. Teman dan saudara mereka pun tidak sanggup untuk menolong. Mereka lupa kekayaan yang sebenarnya masih berlimpah di sekeliling mereka : tanah yang subur, hutan yang kaya, mineral yang berlimpah dan juga ternak-ternak yang sehat. Yang mereka pikirkan sepanjang hari adalah uang yang rasanya selalu kurang. Mereka tidak pernah bertanya tentang sistem. Mereka percaya pemerintahlah yang sedang menjalankan sistem ini.

Sebagian kecil orang di masyarakat yang kelebihan uang mulai membentuk perusahaan mereka sendiri untuk meminjamkan uang mereka. Mereka menagih bunga 6% atas uang mereka, lebih baik dari 3% yang ditawarkan oleh Fabian. Namun orang-orang ini meminjamkan uang mereka sendiri, tidak seperti Fabian yang bisa meminjamkan uang / menciptakan kredit tanpa modal.

Perusahaan-perusahaan pembiayaan ini tetap membuat khawatir Fabian dan kawan-kawannya, jadi mereka pun membentuk perusahaan pembiayaan mereka sendiri. Dalam kebanyakan kasus, mereka membeli perusahaan-perusahaan pembiayaan saingan mereka tersebut. Pada akhirnya, semua perusahaan pembiayaan dimiliki ataupun dalam kendali mereka.

Situasi ekonomi terus memburuk. Para pegawai mulai yakin bos mereka mendapatkan terlalu banyak keuntungan. Pemilik perusahaan pun menilai pegawainya terlalu malas dan tidak cukup bekerja keras. Semua orang mulai menyalahkan orang lain. Pemerintah bingung bagaimana menyelesaikan masalah ini. Masalah paling mendesak tentunya adalah bagaimana menolong orang yang paling miskin.

Pemerintah pun memulai sebuah program sosial dan memaksa anggota masyarakat untuk membayar sistem ini. Hal ini membuat marah sebagian orang, mereka percaya kepada gagasan lama bahwa membantu orang seharusnya adalah usaha suka rela, bukan paksaan.



“Peraturan ini adalah perampokan yang dilegalkan. Mengambil sesuatu dari seseorang, dengan menentang keinginan dari orang yang bersangkutan, apapun tujuannya, tidaklah berbeda dengan mencuri darinya.”

Namun orang-orang tak berdaya karena bila tidak membayar mereka akan dimasukkan ke dalam penjara. Program sosial ini selama beberapa waktu memang membantu keadaan, tetapi tak lama kemudian masalah kemiskinan muncul kembali dan uang yang diperlukan untuk menjalankan sistem ini pun terus bertambah. Ongkos sosial terus meningkat, demikian juga dengan skala pemerintahan.

Kebanyakan wakil rakyat adalah orang-orang yang tulus melakukan pekerjaan mereka dengan benar. Mereka pun tidak menyukai gagasan terus-menerus meminta uang dari masyarakat. Akhirnya, mereka mencari pinjaman dari Fabian dan kawan-kawannya. Mereka bahkan tidak mengetahui bagaimana mereka bisa membayar. Orang tua mulai tidak sanggup membayar biaya sekolah anak-anaknya. Sebagian orang tidak sanggup membayar biaya dokter dan obat-obatan. Operator transportasi pun mulai gulung tikar.

Satu demi satu usaha diambil alih pemerintah. Guru, dokter, dan banyak pekerjaan lainnya mulai menjadi tanggung jawab pemerintah.

Tidak banyak orang yang mendapatkan kepuasan di pekerjaannya. Mereka dibayar gaji yang wajar, tetapi kehilangan jati diri. Mereka menjadi budak dari sebuah sistem.

Tidak banyak ruang untuk inisiatif, sedikit penghargaan atas usaha pribadi, pendapatan mereka relatif tetap dan naik pangkat terjadi hanya kalau atasan mereka pensiun ataupun mati.



Di tengah keputusasaan, pemerintah akhirnya meminta nasehat dari Fabian. Mereka menganggapnya sebagai orang bijak dan selalu memiliki solusi atas permasalahan uang. Fabian mendengar keluhan dari pemerintah dan akhirnya menjawab, “Banyak orang yang tidak bisa menyelesaikan persoalan mereka, mereka membutuhkan orang lain untuk melakukannya. Tentu Anda setuju bahwa semua orang berhak atas kebahagiaan dan berhak atas semua kebutuhan pokok mereka bukan? Satu-satunya cara untuk menyeimbangkan situasi adalah mengambil dari yang kaya dan memberikan kepada yang miskin. Kenalkan sebuah sistem baru yaitu pajak. Semakin banyak kekayaan seseorang, semakin banyak dia harus membayar pajak. Sekolah dan rumah sakit seharusnya gratis bagi mereka yang tidak sanggup membayar…”

Selesai memberikan nasehat, Fabian pun tidak lupa mengingatkan pemerintah, “Hm, jangan lupa Anda masih berhutang kepada saya. Tetapi baiklah, saya akan membantu Anda. Sekarang Anda hanya perlu membayar bunga kepada saya, Anda bisa menunda pembayaran hutang pokok kepada saya.”

Pemerintah mempercayai Fabian, dan mereka pun segera memperkenalkan pajak penghasilan, semakin banyak yang Anda dapatkan, semakin tinggi pajak yang Anda bayarkan. Tak seorang pun anggota masyarakat yang setuju. Namun, sama seperti sebelumnya, mereka harus membayar atau masuk penjara.

Pedagang lagi-lagi harus menaikkan harga jual barangnya. Para pegawai kembali menuntut kenaikan gaji, bisnis-bisnis mulai gulung tikar, ataupun mulai mengganti tenaga manusia dengan mesin. Siklus ini berulang-ulang dan memaksa pemerintah memperkenalkan berbagai skema-skema sosial lainnya.

Pengaturan tarif dan perlindungan mulai diterapkan untuk menyelamatkan industri-industri tertentu dari kebangkrutan dan menyediakan lapangan kerja. Sebagian orang mulai bertanya-tanya apakah tujuan dari kegiatan produksi ekonomi adalah untuk memproduksi barang atau hanya untuk menyediakan lapangan kerja.

Seiring memburuknya keadaan, orang-orang mulai mengendalikan upah pegawai, kontrol biaya, dan segala macam kontrol-kontrol lainnya. Pemerintah pun berupaya mendapatkan lebih banyak uang lewat pajak penjualan, pajak penghasilan, dan pajak-pajak yang lain. Sebagian orang mulai memperhatikan bahwa sejak petani menaman padi sampai beras sampai ke tangan Ibu rumah tangga, ada lebih dari 50 jenis pajak yang sudah dibayarkan.

“Pakar” mulai muncul dan sebagian mulai terpilih untuk bekerja di pemerintahan, namun tahun demi tahun berlalu dan mereka tidak berhasil menyelesaikan permasalahan apapun, kecuali bahwa pajak perlu “disesuaikan” yang mana dalam kebanyakan kasus artinya harus dinaikkan.

Fabian mulai menuntut pembayaran atas bunga pinjamannya, dan semakin lama semakin banyak porsi pajak yang digunakan untuk membayar kepadanya.

Kemudian mulai muncul apa yang disebut dengan partai politik, orang-orang di masyarakat mulai berargumentasi partai mana yang orang-orangnya bisa menyelesaikan permasalahan mereka. Mereka mulai bertengkar mengenai personalitas, idealisme, lambang partai dan berbagai hal lainnya kecuali asal muasal permasalahan mereka.



Di kota tertentu, bunga pinjaman yang harus dibayar sudah melebihi total penerimaan pajak tahunan yang bisa dikumpulkan. Bunga-bunga baru pun mulai diperhitungkan atas bunga yang belum dibayarkan.

Secara perlahan-lahan kekayaan riil dari negara mulai berpindah tangan ke Fabian dan kawan-kawannya dan mereka memiliki kendali yang semakin lama semakin besar atas kehidupan masyarakat. Namun, pengendalian mereka belum selesai. Mereka menyadari bahwa situasi tidak akan benar-benar aman sebelum semua orang berhasil dikendalikan.

Lantas bagaimana upaya Fabian dan kawan-kawannya untuk mengamankan pengaruh mereka?

Untuk membaca cerita selanjutnya, klik "di sini".

Sumber:
Masa Lalu Uang dan Masa Depan Dunia
Terjemahan dari artikel Larry Hannigan