The Time

Kamis, 12 Juni 2014

Islami. Apakah Hanya Sebatas Etika?

Aah, setelah sekian lama ngurus blog organisasi, akhirnya bisa nulis di blog sendiri. Didorong oleh sebuah tulisan (udah lama sih) tentang "Negara Paling Islami".



Cerita bermula saat membaca artikel tentang penelitian yang mencari negara paling Islami, dan "pemenang"nya jatuh ke sebuah negara di benua Eropa yang justru minoritas Muslim di sana, yaitu Irlandia. Hosen Askari selaku peneliti juga menggambarkan bahwa 25 negara teratas dalam nominasi negara paling Islami, tak ada satupun negara Islam di sana.

File:Government Buildings, Dublin.jpg
Gedung Pemerintahan di Irlandia. Oleh Hosen Askari, negara ini didaulat sebagai negara paling Islami di dunia.

"Jika sebuah negara," ujar peneliti yang juga seorang guru besar politik dan bisnis internasional di Universitas George Washington, "Memiliki ciri-ciri tak ada pemilihan, korup, opresif, memiliki pemimpin yang tak adil, tak ada kebebasan, kesenjangan sosial yang besar, tak mengedepankan dialog dan rekonsiliasi, negara itu tidak menunjukkan ciri-ciri Islami."

Islami?

Memang benar dari segi gelar dan tingkat pendidikan, saya masih kalah jauh dengan bapak Hosen. Namun begitu, tergelitik juga mendengar penelitian "unik" dengan hasil yang seperti itu.

Apa sebenarnya Islami itu? Disadur dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, Islami berarti "bersifat keislaman." Islam sendiri berasal dari bahasa Arab Aslama-Yuslimu-Islaman yang secara kebahasaan berarti 'menyelamatkan'. Islam sendiri adalah agama dan jalan hidup yang diturunkan pada para Nabi dan pada akhirnya disempurnakan dengan diturunkannya risalah pada Nabi terakhir, Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Inti dari Islam sendiri adalah mengesakan Allah sebagai satu-satunya Ilah yang berhak disembah dan mengakui Muhammad sebagai utusan Allah yang memiliki konsekuensi kepatuhan kepada semua risalah yang dibawa. Hal ini terangkum jelas dalam syahadat, rukun Islam pertama.

Berangkat dari konsep ini, agaknya saya tidak sejalan dengan Hosen Askari mengenai peneitian beliau tentang "negara yang Islami." Bisa dikata, beliau hanya melihat masalah ini dari sudut pandang "keteraturan negara" semata dan cenderung mengabaikan nilai dan spirit yang menggerakkan keteraturan tersebut. Terlebih beberapa kriteria sangat terikat oleh waktu dan kondisi zaman. Beliau mengisyaratkan bahwa "tak ada pemilihan" dan "tak ada kebebasan" merupakan salah satu ciri negara yang tidak Islami. Sangat mungkin ketentuan ini berangkat dari populernya sistem demokrasi di masa ini. Mungkin bila kita hidup di abad pertengahan saat raja begitu dihormati dan sistem kerajaan merupakan harga mati, kriteria ini bisa saja berubah.

Kemudian terkait nilai dan spirit yang menjadi pedoman mereka. Banyak yang menyatakan bahwa walaupun mayoritas bukan Muslim, tetapi mereka merefleksikan nilai-nilai Islam, seperti disiplin, jujur, dan sebagainya. Di sisi ini pun ada sedikit yang "mengganjal" bagi saya pribadi.

Islam adalah sebuah kebaikan yang sempurna. Tiap orang Mukmin pasti tak akan memperdebatkannya. Namun menyatakan bahwa semua nilai-nilai kebaikan sebagai sesuatu yang Islami agaknya bukanlah hal yang tepat.

Banyak yang menyatakan bahwa segala nilai-nilai kebaikan (disiplin, ramah tamah, jujur, dsb) yang sekarang ada di Barat dan bangsa manapun berasal dari ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Kolonialisme dituding menjadi sebab utama pertukaran nilai antara dunia Muslim dan Barat. Nilai-nilai Islam kemudian dibawa dan diterapkan di Barat sehingga jadilah Barat semaju ini. Benarkah?

Memang tak dapat dipungkiri, interaksi antara dunia Islam dengan berbagai negara sejak hampir lima belas abad lalu menjadikan transfer nilai-nilai Islam ke seluruh penjuru dunia menjadi tak terelakkan. Namun menyatakan nilai-nilai kebaikan yang ada di Barat kesemuanya berasal dari ajaran Islam agaknya yang kurang saya sepakati.

Memang Islam adalah kebaikan yang sempurna. Namun tiap bangsa dan bahkan tiap manusia juga bisa saja melakukan dan mengonsep sebuah etika dan nilai kebaikan tanpa harus menilik kepada ajaran Islam. Ini karena fitrah manusia yang pada dasarnya lurus. Tapi pernyataan ini tak lantas disimpulkan bahwa ada tidaknya Islam tak berpengaruh. Tidak, bukan begitu.

Dengan akal dan hati nurani, bisa saja manusia melakukan berbagai macam kebaikan. Tapi ada sebuah catatan penting! Kebaikan yang dilakukan hanya bersifat parsial bila tanpa bimbingan wahyu, dan ini bisa kita dapati di negara-negara Barat. Mereka sangat ketat dalam menjaga kebersihan jalan dan taman di satu sisi dan melegalkan prostitusi alias zina dan perkawinan sejenis di sisi lain. Atau selalu tepat waktu dalam membuat janji tapi menyatakan bahwa Tuhan sudah mati. Itukah yang disebut Islami?

Dari sini bisa disimpulkan, Islam tak hanya masalah disiplin, atau keteraturan, kejujuran, maupun sebatas keterbukaan. Namun yang lebih penting, inti Islam adalah mengesakan Allah sesuai risalah yang dibawa penutup para Nabi, Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Bukan berarti nilai-nilai kedisiplinan dan lain sebaiknya itu tidak penting. Tentu saja itu penting. Sangat penting. Tapi bukan itu inti dan dasar dari Islam. Jika hanya berdasar etika luar saja kita menilai sebuah obyek Islami atau tidak, maka berarti tak ada salahnya jika suatu waktu ada yang berkata, "Makkah adalah kota paling komunis di dunia" karena persamaan manusia tanpa memandang kelas dan status terealisasi di kota ini di tiap detiknya.

0 komentar:

Posting Komentar