Tak diragukan lagi, fratrisida
(pembunuhan saudara) merupakan salah satu bahasan paling kontroversial dalam
sejarah Utsmani[1].
Disampaikan dalam hukum pemerintahan Sultan Mehmed Fatih[2][2]
tentang berhaknya memberikan hukuman mati kepada anggota dinasti laki-laki untuk menjaga masa peralihan kepemimpinan.
Terdapat perbedaan dalam pelaksanaan hukuman mati ini sepanjang sejarah
kekaisaran, dengan sebagian besarnya dipandang sebagai tindakan yang sah,
tetapi sebagian pelaksanaan hukuman mati, utamanya untuk mencegah kemungkinan
pemberontakan, dikritik sebagai tindakan yang tidak dibenarkan.
Adat “kerajaan menjadi
kepemilikan bersama dinasti” menjadi salah satu ciri politik bangsa Turki kuno[3],
dan terus berlanjut sampai mereka memeluk Islam. Sebagian pemimpin bangsa Turki
memilih untuk membagi negara mereka menjadi beberapa wilayah dan memberikannya
kepada para pangeran untuk menghindari perang saudara. Namun pelaksanaan ini
memperlemah negara dan menggiring pada kejatuhannya. Syukurlah, Utsmani belajar
dari pengalaman ini. Mereka mengorbankan diri mereka untuk negara dan rakyatnya
dan meminum racun pahit itu untuk diri mereka sendiri. Racun pahit itu adalah
menghukum mati sesama anggota dinasti untuk kemaslahatan masyarakat, yang
dikenal dengan fratrisida.
Dalam suratnya kepada putra Timur,
Mehmed I Çelebi[4] berkata,
“Pendahuluku menangani beberapa ketidaknyamanan dengan pengalaman mereka. Dua
sultan tidak dapat hidup di negara yang sama.” Hukuman mati kepada sesama
anggota dinasti untuk kepentingan politik tidak hanya terkait dengan Utsmani. Hal
ini juga dilakukan oleh Sasania[5],
Romawi, Romawi Timur (Bizantium), dan bahkan negara-negara Muslim Andalusia.
Namun, alasan utama pelaksanaan ini pada beberapa monarki tersebut adalah untuk
mengambil alih tahta alih-alih untuk menjaga keutuhan negara dan kehidupan
rakyat. Di sisi lain, ribuan orang yang mati saat perang berkepanjangan untuk perebutan
tahta di Eropa harus diingat.
Dikisahkan bahwa hukuman mati
pertama yang diperintahkan di dalam dinasti Utsmani dilaksanakan oleh Osman[6]
Gazi[7],
pendiri negara dan dinasti Utsmani, pada 1298, untuk pamannya, Dündar Bey,
karena telah bekerja sama dengan para bangsawan Romawi Timur. Selama beberapa
abad pertama, para anggota dinasti menjadi masalah untuk negara pada masa kekuasaan
hampir semua sultan. Para şehzade (gelar untuk pangeran Utsmani)[8] yang
mendaulat diri mereka atas tahta, memberontak dengan dukungan dari negara
Anatolia[9] lain,
atau bahkan dari Romawi Timur. Setelah kekalahan Utsmani dalam Pertempuran
Ankara (1402)[10],
empat putra Bayezid I[11],
masing-masingnya memiliki ribuan pendukung, bertarung untuk tahta selama
bertahun-tahun. Di akhir perang saudara, Mehmed I Çelebi, putra termuda Sultan Bayezid I,
mengalahkan saudara-saudaranya dan menjadi pemilik tunggal tahta Utsmani pada
1413.
Tidak ada peraturan baku terkait
pewarisan tahta untuk Utsmani dalam kerangka politik Turki kuno. Setiap şehzade akan dikirim ke “sanjak” (provinsi)
yang masing-masingnya berjarak sama dari ibukota setelah berusia 12 tahun.
Dengan cara ini, mereka menjalani masa pelatihan (memimpin provinsi, untuk
bekal menjadi sultan –red), dan şehzade yang pertama kali mencapai ibukota
setelah kematian ayah mereka (sultan lama –red) akan menjadi sultan (yang baru
–red). Namun, dalam pasal yang terkenal dari hukum Sultan Mehmed II
menyebutkan, “Siapa saja dari putraku yang naik tahta, dapat diterima untuknya
untuk membunuh para saudaranya untuk kemaslahatan rakyat (nizam-i alem).
Sebagian besar ulama telah menyetujui ini, laksanakan sebagaimana mestinya.”
Hukum ini tidak memberikan aturan baru pewarisan tahta, tetapi merumuskan bahwa
şehzade yang paling beruntung dan paling kuat
dapat mewarisi tahta dan meniadakan saudaranya yang lain yang menuntut atas
tahta. Dengan demikian, prinsip keutuhan kedaulatan dalam hukum Islam diadopsi
oleh sistem politik Utsmani, bahkan jika bayarannya adalah para anggota
dinasti. Hukuman mati terhadap para şehzade dilakukan menurut hukum positif, dengan
kata lain, menurut Kanon Sultan Mehmed II. Seperti dalam semua monarki lainnya,
penguasa memegang kekuasaan kehakiman di tangannya di bawah hukum Islam.
Terdapat tiga alasan berbeda terkait
hukuman mati terhadap para şehzade dalam Dinasti
Utsmani. Pertama, para şehzade dihukum mati dalam
rangka mereka memberontak untuk merebut tahta. Pemberontakan dipandang sebagai
kejahatan di semua belahan dunia. Setelah mangkatnya Sultan Mehmed Fatih pada
1481, putranya, Cem Sultan, mengirimkan pesan kepada kakaknya, Bayezid,
menyarankan agar mereka membagi negara untuk mereka. Sultan Bayezid II[12]
menolak permintaan itu. Dia mengalahkan saudaranya dan Cem Sultan lari ke Eropa
dan tinggal di sana di sisa hidupnya. Beberapa ahli hukum mengatakan bahwa
hukuman mati dapat diperintahkan untuk menghukum şehzade jika dia telah menyelesaikan persiapan
untuk memberontak melawan sultan.
Kedua, mungkin tidak ada
perlawanan yang nyata tetapi jelas terdapat tanda hendak memberontak.
Ketidakpatuhan terhadap kaisar[13]
baik lewat kata-kata, tindakan, atau mendorong rakyat untuk melakukan revolusi
adalah kejahatan. Ketika Selim I[14]
naik tahta, dia tidak menghukum mati saudaranya, Şehzade Korkut, tapi
memberinya kedudukan sebagai gubernur. Beberapa wazir (menteri) dan prajurit
dari sultan sebelumnya mengirimkan pesan pada Şehzade Korkut dan mengatakan
bahwa mereka ingin melihatnya sebagai kaisar dan segala situasinya mendukung
suksesinya. Sayangnya Şehzade Korkut
memberi tanggapan positif. Sultan melihat pesan itu dan mengakhiri hidup
saudaranya pada 1513. Şehzade
Mustafa, putra Sultan Suleiman I[15],
dihukum mati untuk alasan serupa. Hukum modern tidak memberikan hukuman kepada
rencana kejahatan selama persiapan (untuk melakukan kejahatan –red) tidak
dilakukan. Namun, hal ini juga tergantung penafsiran ahli teori dan praktisi
untuk menentukan suatu rencana dianggap sebatas persiapan atau tindakan nyata.
Sebagai perumpamaan, jika tiga orang berkumpul untuk membunuh seseorang, itu
tidak dilihat sebagai tindak kejahatan. Namun pertemuan untuk (merencanakan –red)
pemberontakan adalah tindak kejahatan.
Şehzade Mustafa dan Şehzade Mahmud, putra
Sultan Mehmed III[16],
tidak terlibat secara pribadi dalam upaya pemberontakan, tetapi tidak waspada.
Perilaku sembrono seperti itu dipandang sebagai ancaman terhadap monarki pada
waktu itu yang mendorong hukuman mati terhadap mereka untuk mencegah
kemungkinan kekacauan di masa mendatang. Şehzade Selim, putra Sultan
Suleiman I yang lain, dan Şehzade
Ibrahim, putra Sultan Ahmed I[17],
mendapati diri mereka di tahta dengan sikap mereka yang sabar dan hati-hati,
meskipun penobatan mereka tidak diperhitungkan sebelumnya saat saudara mereka
masih hidup.
Ketiga, dalam permisalan ini,
tidak ada pemberontakan maupun persiapannya. Di sinilah terdapat masalah keabsahan.
Untuk banyak ahli hukum di Kekaisaran Utsmani, hukuman mati terhadap şehzade dipandang sebagai tindakan yang sah
bila mereka mungkin mengadakan pemberontakan di masa mendatang. Masyarakat
selalu memandang Dinasti Utsmani sebagai pemegang tahta yang berhak. Pewarisan
tahta kepada orang atau keluarga di luar dinasti adalah suatu yang tidak pernah
dibayangkan. Pada pemberontakan militer, kaisar diancam dengan mendudukkan
seorang şehzade
di tahta. Para şehzade yang malang
menjadi potensi bahaya yang mengancam negara dan keamanan nasional. Sultan
Murad IV[18]
mengorbankan saudaranya yang tidak berdosa untuk menekan kerusuhan karena para
tentara ingin mendudukkan saudaranya itu di tahta. Duta Austria, Ogier Ghiselin
de Busbecq, yang menetap di Kekaisaran Utsmani pada masa kepemimpinan Suleiman
I, berkata, “Betapa tidak beruntungnya menjadi putra Kaisar (Utsmani). Itu
karena ketika salah satunya naik tahta, yang lain kemudian menunggu kematian
mereka. Jika saudara kaisar masih hidup, permohonan para tentara tidak pernah
usai. Ketika kaisar tidak menerima permintaan mereka, mereka berteriak, ‘Tuhan
melindungi saudaramu,’ yang menunjukkan mereka akan menobatkannya (sebagai
kaisar –red).”
Beberapa ahli modern menganggap
bahwa pelaksanaan hukuman mati terhadap para şehzade yang tidak berusaha untuk menghasut
kerusuhan apapun adalah melanggar hukum dan melawan pelaksanaan hukum syariah.
Hukuman kepada orang yang tidak bersalah dengan kekhawatiran akan kemungkinan
kejahatan di masa mendatang adalah melanggar hukum berdasarkan kaidah
“seseorang dianggap tidak bersalah hingga terbukti bersalah menurut hukum.”
Sedangkan pihak yang membenarkan pemberian hukuman mati kepada para şehzade itu mendasarkan pada pendekatan kaidah
maslahah atau kepentingan umum dalam hukum Islam. Maslahah bermakna menempatkan
kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dalam memutuskan suatu masalah. Al
Qur’an menetapkan bahwa fitnah
(pemberontakan, gangguan sosial) lebih buruk daripada membunuh seseorang.
Misalnya, Sultan Osman II[19]
menghendaki untuk menghukum mati saudaranya ketika hendak maju ke Perang Khotyn
untuk menghindari kemungkinan pembangkangan di belakang. Namun Syaikhul Islam[20]
Es’ad Efendi[21]
tidak mengeluarkan fatwa dan sultan mengambil fatwa dari Qadi'asker
Tashkopruzade. Sudah hal yang lumrah untuk mengambil beberapa penafsiran fatwa
dalam menetapkan masalah yang tidak memiliki rujukan hukum yang jelas.
Penulis : Ekrem Buğra Ekinci
Penerjemah dan penyelaras : Hafidh Wahyu Purnomo
Sumber : http://www.dailysabah.com/feature/2015/08/07/the-history-of-fratricide-in-the-ottoman-empire--part-1
Bersambung
[1]
Utsmani (دولت عليه عثمانیه, Devlet-i ʿAlīye-i ʿOsmānīye, Daulah/Negara
Agung Utsmani. Juga disebut dengan Turki Utsmani dan Ottoman) adalah sebuah
negara yang didirikan Osman sekitar tahun 1299 Masehi dan berakhir pada 1
November 1922
[2]
Mehmed II, pemimpin Utsmani ketujuh. Memerintah pertama pada 1444-1446 dan
kedua pada 1451-1481. Mehmed dikenal dengan gelar Fatih (pembebas, penakluk) lantaran telah berhasil menundukkan
Konstantinopel, ibukota Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) pada tahun 1453.
[3]
Bangsa Turk adalah kelompok ras besar yang menghuni wilayah sebelah utara,
tengah, dan barat Eurasia dan bertutur dalam bahasa Turki yang terdiri dari
banyak dialek. Sebagian besar orang Turk memiliki asal-usul dari Asia Tengah.
Kitab Zhou menerangkan Turk
diturunkan dari kata yang bermakna ‘pelindung kepala’. Ada juga yang mengatakan
bahwa kata itu dapat berasal dari kata Tur
yang merupakan cucu dari Nabi Nuh.
[4]
Mehmed I, pemimpin Utsmani kelima. Memerintah pada 1413-1421
[5]
Dinasti penguasa daerah Persia pada 224-651
[6]
Osman I, pemimpin Utsmani pertama. Awalnya Osman mewarisi jabatan ayahnya, Ertuğrul,
yang menjadi gubernur di salah satu wilayah Kesultanan Turki Seljuk (disebut
juga Kesultanan Rum atau Kesultanan Seljuk Anatolia). Namun saat terjadi gonjang-ganjing
di Turki Seljuk, Osman memerdekakan diri, menyatukan wilayah-wilayah pecahan
Seljuk yang lain, dan membentuk negara Utsmani. Osman memerintah sebagai
pemimpin merdeka pada sekitar 1299 sampai 1323 atau 1324.
[7]
Ghazi (غازي),
gelar yang aslinya digunakan untuk merujuk pada Muslim yang berpartisipasi
dalam perang membela agama
[9]
Anatolia (disebut juga dengan Asia Kecil) adalah semenanjung di wilayah paling
barat Benua Asia. Kawasan ini sekarang menjadi wilayah negara Republik Turki.
[10]
Pertempuran Ankara, terjadi pada 20 Juli 1402, adalah perang antara Utsmani di
bawah kepemimpinan Bayezid I dan Kekaisaran Timur yang wilayahnya mencakup
Persia, Asia Tengah, dan Mesopotamia
[11]
Bayezid I, pemimpin Utsmani keempat. Memerintah pada 1389-1402.
[12]
Bayezid II, pemimpin Utsmani kedelapan. Memerintah pada 1481-1512.
[13]
Penguasa Turki Utsmani menyandang bermacam-macam gelar yang masing-masingnya
memiliki makna tersendiri. Gelar utama pemimpin Utsmani adalah sultan
(سلطان, menunjukkan kedudukan Utsmani sebagai negara Islam), khan (menunjukkan
keterikatan mereka dengan para leluhur Asia Tengah mereka), padisyah (پادشاه, gelar
Persia untuk ‘kaisar’, mengungguli gelar syah ‘raja’), kaiser-i-rum (Kaisar Romawi, gelar yang
didapat penguasa Utsmani setelah menaklukan Kekaisaran Romawi Timur pada 1453),
dan khalifah (خَليفة, gelar untuk pemimpin dunia Islam. Al Mutawakkil III, Khalifah
Abbasiyyah terakhir, menyerahkan kedudukannya sebagai khalifah kepada Selim I
pada tahun 1517).
[14]
Selim I, pemimpin Utsmani kesembilan. Memerintah pada tahun 1512-1520. Juga
dikenal dengan gelar Yavuz (kuat).
[15]
Suleiman I, pemimpin Utsmani kesepuluh. Masa pemerintahannya berjalan selama 46 tahun
pada 1520-1566 dan merupakan pemimpin Utsmani dengan masa pemerintahan terlama.
Suleiman dikenal dengan sebutan Kanuni
(Indonesia: Sang Pemberi Hukum) di Timur dan Muhteşem (Inggris: Magnificent, Indonesia: Agung) di Barat.
[16]
Mehmed III, pemimpin Utsmani ketiga belas. Memerintah pada 1595-1603.
[17]
Ahmed I, pemimpin Utsmani keempat belas. Memerintah pada 1603-1617.
[18]
Murad IV, pemimpin Utsmani ketujuh belas. Memerintah pada 1623-1640.
[19]
Osman II, pemimpin Utsmani keenam belas. Memerintah pada 1618-1622.
[20]
Syaikhul Islam adalah gelar untuk Mufti Agung atau pejabat keagamaan tertinggi
di Kekaisaran Utsmani
[21]
Syaikhul Islam pada 1615-1622
[1] Utsmani (دولت عليه عثمانیه, Devlet-i ʿAlīye-i ʿOsmānīye, Daulah/Negara Agung Utsmani. Juga disebut dengan Turki Utsmani dan Ottoman) adalah sebuah negara yang didirikan Osman sekitar tahun 1299 Masehi dan berakhir pada 1 November 1922
[2] Mehmed II, pemimpin Utsmani ketujuh. Memerintah pertama pada 1444-1446 dan kedua pada 1451-1481. Mehmed dikenal dengan gelar Fatih (pembebas, penakluk) lantaran telah berhasil menundukkan Konstantinopel, ibukota Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) pada tahun 1453.
[2] Mehmed II, pemimpin Utsmani ketujuh. Memerintah pertama pada 1444-1446 dan kedua pada 1451-1481. Mehmed dikenal dengan gelar Fatih (pembebas, penakluk) lantaran telah berhasil menundukkan Konstantinopel, ibukota Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) pada tahun 1453.
3 komentar:
Terima kasih artikelnya menjawab pertanyaan saya selama ini
nice info makasih yah kak
markaindo selaras
Seharusnya dulu setelah lahir pangeran pertama,, para permaisuri dan selir di suruh KB biar gak hamil,, kan kasian klo lahir akhirnya di bantai sodara sendiri
Posting Komentar