The Time

Kamis, 14 Januari 2016

Masjid Ramah Wanita

Perubahan adalah hal yang niscaya, khususnya bila terkait dengan kehidupan manusia. Dulu, para perempuan mungkin lebih fokus berkegiatan di sekitar rumah dan urusan domestik. Tetapi sekarang, zaman sudah menarik kaum hawa untuk lebih aktif di dunia luar, seperti bekerja dan menuntut ilmu. Perubahan ini tentunya menjadikan kebutuhan para perempuan dengan fasilitas umum semakin meningkat, contohnya masjid.

Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia hingga tulisan ini dibuat, masjid dapat ditemukan dengan mudah di berbagai sudut. Alhamdulillah. Walaupun begitu, penulis merasa bahwa banyak sekali masjid yang dibuat tanpa melihat perkembangan zaman, khususnya terkait kepentingan perempuan di dalamnya.



Sebagai catatan, penulis tak membicarakan emansipasi wanita yang melampaui batas sebagaimana yang telah dilangsungkan di luar negeri, di mana muadzinnya adalah seorang wanita tak berkerudung, jamaah pria-wanita bercampur baur dengan diimami seorang wanita. Tapi penulis lebih membahas mengenai "bangunan fisik" masjid yang dibangun tanpa memperhatikan kepentingan jamaah wanita.

Inti dari masalah arsitek masjid yang banyak ditemui pada masjid di Indonesia adalah ketiadaan privasi lebih yang diberikan kepada jamaah wanita. Beberapa di antaranya adalah:

1. Tempat Wudhu Perempuan

Tempat wudhu menjadi permasalah nomor satu dalam hal ini. Masih banyak pengelola masjid yang mungkin belum paham, sehingga membangun tempat wudhu wanita secara terbuka layaknya membangun tempat wudhu pria, atau bahkan tak ada pemisahan antara tempat wudhu pria dan wanita. Padahal dalam aktivitas wudhu, baik pria dan wanita harus mengusap bagian tubuh tertentu (seperti kepala, tangan, kaki) sesuai ketentuan. Dari daftar bagian tubuh yang harus diusap saat wudhu, semuanya adalah aurat bagi wanita, kecuali wajah. Hal ini tentu saja akan menimbulkan kesulitan tersendiri bila ruang wudhu wanita dibangun terbuka atau bahkan bercampur dengan pria, sehingga pria dewasa non-mahram sangat mungkin melihat aurat wanita saat berwudhu.

2. Tempat Shalat Wanita

Tempat shalat wanita menjadi salah satu sorotan utama berikutnya. Masih banyak pintu utama masjid dibangun berlawanan arah dengan kiblat. Maksudnya, jika misal kiblatnya mengarah ke barat sebagaimana di Indonesia, pintu utamanya menghadap ke timur. Lantas apa masalahnya?

Posisi pintu ini akan menjadi masalah bila penataan shaf laki-laki dan perempuan dilakukan depan-belakang. Hal ini akan membuat lalu lintas masuk keluar jamaah terfokus di tempat shalat belakang, alias di tempat shalat wanita. Tentu hal ini kurang sesuai bila kita mengacu pada beberapa hadits Nabi yang menekankan privasi kaum wanita. Jamaah wanita yang harusnya lebih mendapat privasi justru diberikan tempat lalu lalang jamaah. Hal ini akan diperparah dengan ketiadaan atau tidak maksimalnya pintu samping. Lebih dari itu, bila jamaah penuh, sangat mungkin jamaah wanita akan terdesak dan shalat di teras.

Tempat shalat wanita sebenarnya tak hanya terkait dengan tempat wanita untuk shalat semata, tapi terkait dengan kegiatan jamaah wanita dalam menuntut ilmu. Di beberapa masjid, jumlah jamaah daat membludak saat mengadakan pengajian, khususnya dengan pembicara yang terkenal atau mengupas tema keumatan yang amat penting. Dengan ketiadaan tempat yang layak bagi jamaah wanita, sangat mungkin jamaah pria akan sangat mendominasi masjid sehingga hampir tak ada tempat bagi jamaah wanita untuk mengikuti kajian. Padahal menuntut ilmu sangat penting bagi kaum wanita karena merekalah madrasah pertama generasi penerus. Walaupun begitu, patut disyukuri bahwa banyak pula masjid-masjid dan daerah lain yang jamaah wanitanya yang telah mandiri mengadakan kajian rutin khusus ibu-ibu (dan sayangnya banyak bapak-bapak justru malas mengadakan kajian serupa).

3. Ruang Menyusui. Mengapa Tidak?

Dewasa ini, masyarakat mungkin lebih akrab dengan ruangan khusus merokok daripada ruangan khusus menyusui. Padahal ditinjau dari segi syariat, menyusui adalah aktivitas yang harus dilakukan oleh para ibu bilamana tak ada halangan yang dibenarkan syariat.

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثُمَّ انْطَلَقَ بِي فَإِذَا بِنِسَاءٍ تَنْهَشُ ثَدْيَهُنَّ الْحَيَّاتُ, قُلْتُ: مَا بَالُ هَؤُلَاءِ؟ قِيلَ: هَؤُلَاءِ اللَّاتِي يَمْنَعْنَ أَوْلَادَهُنَّ أَلْبَانَهُنَّ

“Kemudian Malaikat itu mengajakku melanjutkan perjalanan, tiba-tiba aku melihat beberapa wanita yang payudaranya dicabik-cabik ular yang ganas. Aku bertanya, ‘Kenapa mereka?’ Malaikat itu menjawab, ‘Mereka adalah para wanita yang tidak mau menyusui anak-anaknya (tanpa alasan syar’i)’.” {HR. Ibnu Hibban}

Pentingnya menyusui, baik dari sisi syariat dan medis, menjadikan dibangunnya ruang menyusui di masjid menjadi salah satu hal yang patut dipertimbangkan. Sebagai pusat kegiatan umat Islam, kiranya sangat penting untuk membangun masjid sesuai kebutuhan masyarakat modern sekarang agar masjid benar-benar menjadi pusat kegiatan Islam masa ini.

Kesimpulan

Memang beberapa hadits menyatakan lebih utamanya wanita beraktivitas (termasuk shalat) di dalam rumahnya. Selain itu, tuntutan syariat kepada wanita untuk pergi ke masjid tidak seberat kepada kaum pria. Pria diwajibkan shalat Jum'at (dan shalat wajib menurut beberapa ulama), sedangkan kewajiban tersebut tidak dibebankan kepada wanita, sehingga masjid dibangun dengan memberi ruang yang lebih luas bagi pria.

Namun begitu, di tengah berubahnya pola kehidupan masyarakat zaman sekarang, banyak sekali wanita yang turut aktif dalam kehidupan di luar rumah, baik safar, bekerja, atau menuntut ilmu, yang menuntut mereka ke luar rumah. Ini tentu saja membuat para wanita sekarang lebih membutuhkan fasilitas publik bila dibandingkan wanita yang hidup pada beberapa generasi terdahulu. Dengan tetap berpegang kepada kaidah syariat Islam tentunya, masjid pun sudah selayaknya lebih memberikan ruang bagi jamaah wanita, sehingga fungsi masjid sebagai pusat peradaban umat Islam tidak tergerus zaman.

Wallahu a'lam.

1 komentar:

Posting Komentar