The Time

Kamis, 30 Juni 2016

Cinta Selembut Bintang


Sang surya belum sepenuhnya terbenam tatkala berita duka itu tiba. Sembari menjinjing roknya yang menyapu tanah, dia berjalan cepat menyusuri lorong-lorong istananya, kediaman hadiah dari sang ayahanda, kaisar tiga benua.




Destur, Mihrimah Sultan Hazretleri![i]

Semua lelaki di ruang tidur utama berbalik menghadap dinding. Hukuman berat menanti bila sepasang mata mereka melihat wanita itu.

“Tunggu, Sheikhul-Islam Efendi[ii],” sela wanita itu saat kepala ulama hendak meninggalkan ruangan bersama lelaki lain. “Bagaimana keadaannya?” Ditanya seperti itu, Sheikhul-Islam hanya menunduk takzim. Tandanya sudah jelas.

“Baiklah, Anda boleh pergi.”

Tak lama, ruangan menjadi senyap. Wanita itu mendekat ke arah lelaki yang terbaring lemas di ranjang. Tampak tua dan lemah.

“Sultan[iii],” ujar lelaki itu serak. “Kau datang.”

“Tentu aku datang, Rustem,” jawab wanita itu sambil duduk di ranjang. Tak lama, keheningan menyergap.

“Muram sekali,” balas lelaki itu saat melihat mentari senja membasuh ruangan itu. “Gelap. Yah, mungkin seperti itulah yang kau rasakan terkait pernikahan kita.”

Sang wanita tak menjawab.

“Maafkan aku, Sultan, karena keegoisanku. Aku mencintaimu, tapi kau tidak. Dan dengan pengaruhku saat itu, aku berhasil menyakinkan hünkarum[iv] untuk menikahkanmu denganku, menjeratmu dengan lelaki yang kau benci ini. Aku, uhuk… uhuk…”

Wanita itu memandang jendela yang menghadap langit barat. “Rustem, kau memang bagaikan kegelapan dalam hidupku, malam yang hitam, menyelimuti diriku dalam kehampaan. Menyesakkan, menyakitkan,” balas wanita itu tanpa ragu, membuat lelaki itu yang berganti membisu.

“Mihrimah, maafkan …”

“Dulu,” sela wanita itu cepat.

“Dulu?”

“Pernikahan kita memang tak dilandasi cinta, Rustem. Sangat berbeda dengan orangtuaku. Ayahanda, berani menentang tradisi, memerdekakan Ibunda yang seorang budak, dan menjadikannya sebagai haseki sultan[v]-nya. Cinta mereka bergejolak, bagaikan gejolak laut Bosphorus. Cerita mereka akan abadi sampai generasi selanjutnya, pasti. Aku menginginkan pernikahan seperti itu, tapi nyatanya tak bisa. Dan itulah sebabnya aku selalu memandangmu sebagai malam kelam yang merenggut cahaya hidupku. Dulu.”

Kini wanita itu menatap ke arah lelaki, membuat pandangan mereka saling bertaut.

“Kemudian kita melalui banyak hal bersama. Suka, duka, hingga tekanan terberat kita lalui bersama. Dan mulailah itu muncul di hatiku, Rustem. Seberkas cahaya putih. Hanya temaram.”

“Cahaya putih?” balas lelaki bingung.

“Yah. Aku pikir itu tak abadi. Hanya buih yang akan hancur. Tapi aku salah. Perlahan bertambah dan bertambah banyak, bagaikan gemintang yang muncul perlahan di langit malam.”

“Sultan, apakah kau …”

Wanita itu meraih tangan lelaki itu, menggenggamnya erat. “Aku mencintaimu, Rustem. Yah, tidak seperti cinta Ayahanda dan Ibunda yang bergelora, yang menjadi kisah sepanjang zaman. Cinta ini hanya bagai kerlipan bintang yang putih dan lembut, sangat lembut. Mungkin juga kisah kita tak akan diabadikan dalam kisah-kisah para pecinta, tapi tak mengapa. karena kisah ini, cukuplah untuk kita berdua.”

Mata lelaki tua itu basah. Senyum kecilnya tertampak, tapi kelelahan yang sangat mencegahnya mengembangkan senyum terlalu lebar.

“Sultan, apakah kau tahu? Itu adalah hal terindah dalam hidupku.”

“Aku senang mendengarnya.”

Tak lama, mata lelaki itu membelalak lebih lebar, napasnya memburu cepat dan dengan cepat berubah menjadi desahan tipis yang hampir tak tertampak. Bibirnya bergerak pelan, menyebut asma Allah, lirih, sekali, dan kemudian hening.

Kini giliran mata wanita itu yang basah. Diiringi adzan maghrib dari Ayasofya[vi], didekatkanlah tangannya yang masih menggenggam tangan sang lelaki, dikecup punggung tangan Wazir Agung[vii] itu dengan penuh kasih.

“Selamat jalan, Rustem. Terima kasih untuk segalanya.”


#OneWeekOnePaper
Berdasar puisi “Hitam-Putih” karya Rizky Khotimah.




[i] Artinya: “Perhatian, Yang Mulia Mihrimah Sultan.”
[ii] Gelar bagi kepala ulama Turki Utsmani
[iii] Dalam Kesultanan Turki Utsmani, sultan tak hanya gelar bagi pemimpin Turki Utsmani, tetapi juga sapaan bagi anggota inti dinasti Utsmani yang lain, baik laki-laki dan perempuan sejak abad keenam belas. Dalam konteks ini, yang dimaksud sultan adalah “putri.”
[iv] Sapaan khusus untuk pemimpin Utsmani. Kurang lebih bermakna “penguasaku.”
[v] Gelar bagi pasangan sultan dengan beberapa makna. Di awal periode penggunaannya, gelar ini bermakna “permaisuri” atau “pasangan utama” sultan.
[vi] Bekas Basilika Kristen Orthodoks Yunani yang diubah menjadi masjid kekaisaran saat kota Konstantinopel dibebaskan oleh Turki Utsmani pada 1453. Secara bahasa, Ayasofya bermakna “kebijaksanaan suci.”
[vii] Bahasa Turki: Vezir-i Azam atau Sadr-ı Azam (Sadrazam). Gelar bagi perdana menteri Turki Utsmani.

2 komentar:

Uwoooh *prokprokprok
Mas Hafidh bisa bahasa Turki atau?

Posting Komentar