The Time

Minggu, 20 Desember 2015

Tragedi Villa

"Anak-anak, tak perlu berbasa-basi. Kalian tentunya sudah paham alasan kalian dipanggil di aula ini."

Walaupun terisi sekitar enam puluh orang siswa dan sepuluh guru, aula ini termasuk sepi dan tenang. Selain suara dari Pak Sahin, kepala sekolah kami, hampir tak ada orang lain yang berbicara, kecuali sekedar bisikan dari beberapa siswa.

"Bapak tahu kalau memang ada beberapa rumor kurang sedap yang tersiar tentang keberadaan Setan Merah. Tapi kita tidak boleh mempercayai hal tak berdasar tersebut karena itu dapat memperburuk keadaan. Intinya, kita tunggu sampai keadaan agak kondusif dan ..."

"Hei, Al, apa menurutmu rumor itu benar?" Ujar Gray lirih yang berdiri di samping kiriku. Dia adalah temanku sejak SMP. Badannya lebih tinggi sekitar 5 cm dariku dan atletis. Mengenakan kaus hitam polos dan celana militer selutut, dia sudah mirip tentara.

"Entah." jawabku. "Tapi jika memang Andy benar-benar yakin dengan yang dia lihat, bisa jadi kita harus waspada."

"Apa mungkin kita tanya Andy saja setelah ini?" Usul Sam yang berdiri di samping kananku. Dia adalah teman sekelasku. Sedikit lebih pendek dariku dan terlihat kurus. Wajahnya agak mancung dan raut wajahnya menampakkan kalau dia orang yang cerdas dan berpendidikan.

Aku menoleh jauh ke kanan ke arah Andy berdiri. Dia terlihat berkeringat, entah karena cemas atau gerah karena El Nino berkepanjangan. "Ya, bisa-bisa. Coba kita tanyakan dia nanti untuk memastikan, itupun jika dia tak terlalu shock dengan kematian Friz."

"Untuk menghindari kejadian serupa, diharap para siswa tidak menjelajah bukit lagi." Lanjut Pak Sahin. Tanpa pengeras suara, suara Pak Sahin mampu terdengar jelas di seisi aula. "Kegiatan outbond di bukit akan kami tiadakan. Selain itu ..."

Pet!
Pidato Pak Sahin berhenti saat listrik mati secara tiba-tiba, berganti dengan suara riuh para siswa.

"Ada apa ini?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tapi percuma. Menutup atau membuka mata tak ada bedanya.

"Pak Budi, coba tolong periksa gensetnya." Perintah Pak Sahin terdengar jelas di kegulitaan ruang aula.

"Baik, pak." Balas Pak Budi. Sesaat kemudian, suara pintu aula utama terbuka.

"Jangan-jangan itu ulah Setan Merah." Ujar Sam ketakutan.

"Diamlah, Sam!" jawab Gray setengah membentak. "Ini hanya kesalahan teknis saja. Jangan membuat keadaan jadi tambah runyam."

Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Di tengah riuhnya para siswa, hampir tak ada yang bisa kulihat. Tapi tunggu, aku rasanya melihat sedikit cahaya redup agak jauh di sebelah kananku. Jelas bukan senter atau lampu.

Wuss. Tiba-tiba pintu yang menghubungkan ruang aula langsung dengan pekarangan terbuka, menjadikan angin malam masuk menerpa mereka yang ada di aula.

Byar! Lima menit kemudian, akhirnya lampu kembali menyala. Aku bernafas lega. Tapi itu tak lama.

"Waaah! Hei, Andy!" tiba-tiba beberapa siswa berteriak. Aku menuju ke sumber suara. Setelah menyibak kerumunan, kutemukan tubuh Andy terlentang dengan luka sayatan di lehernya. Tidak bergerak.

Aku sedikit membungkuk untuk melihat lebih jelas. Lehernya bersimpah darah. Di mulutnya ada bekas bekapan tangan. Siapa pelakunya? Tunggu, apa mungkin dia melarikan diri lewat pintu samping yang terbuka tadi.

"Jangan-jangan ini ulah Setan Merah." Ujar seseorang yang diiyakan yang lain.

"Harap tenang! Cukup!" Ujar Pak Sahin setengah berteriak. Belaiu dan para guru sudah berada di dekat Andy.

Aku bergegas memeriksa pintu tersebut dan hal-hal yang kecil yang mungkin bisa memberiku petunjuk.

"Hei, Al! Ada apa?" tanya Gray yang segera menyusulku ke pintu.

"Lihat gagang pintu ini." ujarku lebih kepada diri sendiri. "Sebelum pidato dari Pak Sahin dimulai, aku ingat kalau gagang pintu ini terdapat coretan spidol hasil keisengan bocah-bocah. Tapi sekarang, bekas spidol di bagian dalam memudar terhapus, tetapi yang berada di gagang luar masih seperti tadi."

"Tunggu. Maksudmu orang dalam pelakunya?"

"Andy diserang Setan Merah katanya. Mereka juga mengatakan kalau Setan Merah tinggal di luar, di hutan. Bila memang Setan Merah pelakunya, harusnya coretan spidol di gagang pintu luar yang terhapus." Jawabku menjelaskan.

"Atau jangan-jangan, Setan Merah sudah bersembunyi sejak tadi di dalam aula." elak Gray.

Tak berapa lama, Pak Budi masuk ruang aula melalui pintu utama.

"Ada apa ini kok rame-rame?" tanya Pak Budi.

"Kemarilah, pak. Ada siswa yang diserang." Balas Pak Sahin yang sudah berada di dekat Andy. "Periksalah, apakah dia masih hidup ataukah ..."

Pak Budi bergegas menghampiri. Dia mengecek denyut jantung dan nadi. Tapi kurasa tak ada gunanya. Luka sayatan Andy tepat di urat leher. Tak perlu pengecekanpun sudah ketahuan hasilnya.

"Dia meninggal."

***

Aku Altunsyah Fernandez, murid kelas 11 salah satu SMA elit khusus putra di sebuah kota. Sudah menjadi kebiasaan sekolah kami untuk mengadakan wisata bagi siswa kelas 11. Kelas 11 sendiri terdapat enam kelas dan tiap dua kelas memiliki tujuan wisata yang berbeda dengan kelas lainnya. Kelasku, 11-C, bersama kelas 11-D pergi ke pulau kecil tempat vila pribadi sekolah kami berdiri. Rencana kami akan wisata di sini selama lima hari. Tapi nampaknya keceriaan yang kami rencakan berubah drastis.

Di akhir hari pertama, mesin kapal kami dirusak. Entah oleh siapa. Padahal waktu tempuh dari pulau ini ke daratan utama dan sebaliknya membutuhkan kurang lebih empat jam perjalanan. Di siang hari kedua, Friz, murid kelas 11-D, terjatuh dari bukit saat sedang kegiatan outbond dan tewas seketika. Andy mengatakan bahwa ada orang yang sengaja mendorong Friz saat itu, tapi dia sendiri tak begitu jelas melihatnya. Rumorpun mengatakan bahwa Setan Merah adalah dalangnya. Untuk memastikan, aku akan menanyai Andy untuk lebih detailnya. Tapi tak disangka, justru Andy meninggal dengan keadaan mengenaskan malam itu juga.

Ngomong-ngomong, Setan Merah adalah julukan bagi seorang penjahat di daratan utama. Menurut penuturan penduduk sekitar, dia telah membunuh lima orang secara brutal, termasuk istrinya sendiri, dan kemudian kabur menaiki kapal menuju ke arah kepulauan dan menghilang. Pulau yang sedang kuinjak ini adalah salah satu bagian dari kepulauan tersebut. Saat Friz jatuh dari bukit dan Andy mengaku ada sosok yang mendorongnya, semua berpikir bahwa itu adalah ulah Setan Merah.Tapi melihat kejadian kemarin di aula, aku menjadi tidak percaya mengenai kemungkinan tersebut. Ditambah lagi dengan barang yang ada di hadapanku ini.

"Jadi ini ditemukan Pak Budi di genset, pak?" tanya Sam yang ada di sampingku.

"Benar. Beliau menemukan tali dan pemberat ini di genset." jawab Pak Sahin. "Tali ini terikat dengan saklar genset di satu ujungnya. Sedangkan ujung yang lain diikatkan ke sebuah pemberat."

"Dan pemberat itu diletakkan di atas balok es?" tanyaku.

"Benar. Seperti yang bapak katakan tadi. Tapi saat Pak Budi menemukannya, balok esnya hanya tersisa sedikit."

Pagi hari ketiga. Aku, Sam, dan Gray berada dipanggil ke kamar kepala sekolah untuk memperlihatkan benda yang ditemukan di dekat genset. Sejak berhasil menemukan anak bungsu Pak Sahin yang hilang tiga bulan lalu, aku selalu diminta tolong memecahkan berbagai macam kasus aneh oleh beliau. Tapi belum ada yang menyangkut tentang nyawa manusia sebelum ini.

"Lantas apa maksudnya ini, Al?" tanya Gray.

"Ini jelas kesengajaan." balasku.

"Kesengajaan?" tanya Sam dan Gray bersamaan.

"Tali ini diikatkan di saklar di satu sisi dan ke pemberat di sisi lain. Kemudian pemberat diletakkan di atas balok es. Saat balok es mencair, kira-kira apa yang terjadi?"

"Berarti pemberat itu akan turun..." jawab Gray.

"Dan menarik saklar. Itu membuat listrik mati." imbuh Sam.

"Tunggu," potong Pak Sahin dengan raut cemas. "Jika memang begitu, berarti orang dalam yang melakukannya?"

Aku menarik nafas panjang. "Ya. Sangat mungkin seperti itu."

"Berarti orang yang membunuh Andy adalah orang yang berada di sekitarnya saat itu?" balas Gray.

"Kenapa kau bisa menyimpulkan seperti itu?" tanya Sam.

"Coba pikir. Saat itu suasana sangat gelap. Jelas hanya orang yang ada di dekatnya yang bisa melakukannya. Kalau tidak, mana mungkin pelaku dapat membedakan Andy dengan anak lain." jawab Gray. "Pak Sahin, bukankah para guru sudah menanyai mereka yang berada di sekitar Andy saat itu?"

Pak Sahin menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi kayunya. "Memang sudah. Tapi mereka semua mengaku tak tahu apa-apa. Suasana mendadak gelap dan semuanya terkejut. Semua orang juga bubar dari barisannya saat itu."

"Lantas, apakah tak ada orang yang pakaiannya terdapat bekas darah, pak?" Kali ini Sam bertanya. "Pasti pelakunya adalah orang yang terdapat noda darah di pakaiannya jika memang pelakunya orang dalam."

"Ada, yaitu tiga orang di dekat Andy saat itu. Iskandar, Mehmed, dan Leon. Tapi bapak rasa itu karena noda darah yang muncrat saat leher Andy tersayat, tak lebih." Jawab Pak Sahin. "Bapak sendiri juga menghindari pertanyaan yang mengesankan interogasi, agar tak ada orang yang berfikir kalau pelakunya kemungkinan orang dalam. Nanti situasi bertambah runyam."

Aku sendiri juga mengamati satu demi satu orang yang ada di aula saat itu, terutama mereka yang berada di dekat Andy. Memang tak ada bekas darah pada siapapun kecuali ketiga orang yang disebutkan Pak Andy.

"Lantas bagaimana dengan kalian? Apa kamu sudah menemukan alat yang digunakan pelaku." Tanyaku. Kemarin malam setelah kejadian, kami bertiga berbagi tugas. Aku membantu Pak Sahin dalam wawancara sembari mengamati, walaupun aku berpura-pura ikut diwawancarai. Sementara Sam dan Gray mencari barang bukti.

"Ya. Kami menemukannya. Ini." Balas Sam sambil mengeluarkan sebuah pisau yang ditaruh dalam plastik hitam dari tasnya. "Kami menemukan ini di semak samping aula. Kemungkinan pelaku melemparnya sesaat setelah melakukan pembunuhan.

"Kami sudah menanyai Pak Robi, tukang masak vila. Beliau bilang kalau itu memang salah satu pisau dapur vila ini." Imbuh Gray.

"Apakah Pak Robi tahu siapa yang mengambil pisau tersebut?" Tanyaku.

"Sayangnya tidak. Beliau tak tahu menahu soal itu." Balas Gray.

"Tunggu. Sepertinya beberapa murid mengaku melihat cahaya lemah di tengah kerumunan siswa saat itu."  Imbuh Pak Sahin.

"Oh, ya. Saya juga melihatnya." Ujarku. Bodohnya aku, kenapa baru ingat sekarang. "Cahaya itu berasal dari tempat Andy berdiri."

"Ya. Murid lain juga mengatakan demikian. Apa sebenarnya itu, Al?"

"Maaf, pak. Saya juga tak tahu. Kalian memang tak melihatnya." Tanyaku pada Gray dan Sam. Tapi mereka hanya mengangkat bahu dan menggeleng.

"Lantas bagaimana? Akankah kita memberitahukan kepada para siswa bahwa orang dalam pelakunya?"

"Jangan, pak." Balasku. "Ini akan membuat semua panik. Pelaku juga malah semakin waspada. Seperti yang bapak katakan tadi, keadaan akan menjadi lebih buruk. Lebih baik, bapak memerintahkan para siswa untuk berhati-hati dan selalu berkelompok ke manapun ..."

"Ya ampun. Kayak cewek aja." potong Gray diikuti pandangan serius dari kami bertiga. "Eh, maaf. Lanjutkan."

"Jadi mungkin lebih baik untuk mengesankan kalau orang luar, dalam hal ini Setan Merah, yang menjadi pelaku pembunuhan." Jelasku. "Sementara itu, saya memohon bapak bersama para guru untuk mengamati tiap-tiap siswa untuk mencari pelakunya, tapi jangan sampai terlihat seperti sedang menyelidiki, tetapi bersikap seolah melindungi siswa dari ancaman luar."

"Baik. Bapak akan melakukan sesuai yang kamu katakan."

"Sam, kau yakin meminta tolong Pak Sahin melakukan itu?" tanya Gray saat kami bertiga telah keluar dari kamar Pak Sahin.

"Kenapa memang?" tanya Sam.

"Bukankah jika orang dalam pelakunya, para guru juga harusnya menjadi tersangka?"

"Memang benar. Tapi di kasus kematian Friz, tiap-tiap guru mendampingi para murid dari awal sampai akhir. Jadi mereka selalu berada di tengah murid sehingga tak mungkin menjadi pelaku yang mendorong Friz. Yaah, walaupun bisa jadi terdapat trik tertentu seperti yang digunakan dalam cerita-cerita detektif. Entahlah. Aku pribadi juga tak tahu apakah ini langkah yang tepat."

"Ayolah, tuan detektif. Kamu kan sudah berkali-kali memecahkan kasus. Naluri detektifmu sudah terasah. Jadi tenang saja." ujar Gray sambil meninju lenganku. Entah dia mau memuji atau apa, tapi aku tidak terhibur. Justru seolah aku dibebani kewajiban besar untuk menguak tragedi ini.

"Lantas, ke mana kita sekarang?" tanya Sam padaku.

"Ke kamar Andy."

***

0 komentar:

Posting Komentar