The Time

Selasa, 29 Desember 2015

Tragedi Villa 2

"Mehmed! Riko! Iskandar! Ali! Leon! Giliran kalian."

Untuk hari ini, hari ketiga, kelas 11-C mendapat giliran untuk olahraga pagi dan kelas 11-D yang bertugas bersih-bersih villa. Untuk nanti sore, kelas kamilah yang giliran bersih-bersih, sementara kelas 11-D melakukan olahraga sore. Untuk saat ini, olahraga yang kami lakukan adalah lari 100 meter di pantai. Kami semua menggunakan seragam olahraga kami, kaus tanpa lengan warna putih dengan garis hitam di lubang leher dan lengan dengan lambang sekolah di dada kiri, dan celana training hitam dengan garis putih di sisi. Harusnya para guru tidak perlu mewajibkan kegiatan olahraga menggunakan seragam olahraga sekolah karena malah terkesan kalau ini pelajaran olahraga, bukan wisata.

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, banyak teman sekelasku yang terlihat mengantuk. Wajar saja, hampir semalaman kami tak bisa tidur. Pasca kematian Andy, penasaran dan takut bercampur jadi satu. Diwawancarai guru lima-lima yang dilanjut obrolan seputar pembunuhan sampai subuh benar-benar menyita tenaga. Tapi untungnya, para guru sigap memotivasi agar mereka tak panik dan cemas, karena itu tak bermanfaat sama sekali untuk siapapun, selain untuk pembunuhnya. Jadi anak-anakpun berusaha semampu mungkin untuk beraktifitas seperti biasa.

"Hei, Al." panggil Gray yang duduk di sebelahku. "Kau simpan di mana gelang Andy pada akhirnya."

"Aku titipkan ke Pak Sahin." balasku. "Aku tak tahu pilihan lain."

Ba'da subuh, setelah mengobrol sebentar dengan Pak Sahin di ruangan beliau, aku, Gray, dan Sam menuju kamar Andy dan menanyai teman-teman sekelasnya. Mereka yang berada di sekitar Andy mengatakan hal yang sama, bahwa ada sesuatu yang bercahaya tepat di tempat Andy berdiri. Salah satu barang yang dipakai Andy saat itu bercahaya, yang menunjukkan kepada pelaku tempat Andy berada, dan benda itu adalah gelang. Gelang berlapis fosfor.

"Jadi kalau begitu, pelaku sudah dekat dengan Andy dong sebelumnya." bisik Sam. "Karena dia tahu kalau Andy akan memakai gelang tersebut dan menjadikannya sebagai penunjuk tempat Andy berada saat gelap."

"Ya, kemungkinan besar. Normalnya, teman-teman dekat Andylah yang lebih tahu kebiasaannya, termasuk kesukaannya menggunakan gelang fosfor itu akhir-akhir ini dan itu menjadikan mereka sebagai tersangka utama. Tapi tak menutup kemungkinan orang lain juga tahu, terlebih jika orang itu memang bermaksud membunuh Andy sejak awal. Pasti dia akan berusaha mengetahui kebiasaan Andy belakangan ini."

"Ren! Altunsyah! Sam! Fairuz! Gray!" Teriak Pak Budi dari garis finish. Kamipun mengakhiri obrolan dan berdiri di garis start berjajar, menunggu peluit tanda mulai.

Pritiiit!
Peluit dibunyikan dan kami berlima berlari sekencang mungkin. Aku tahu kalau berjalan dan berlari di pasir memang lebih sulit, tapi aku tak menyangka sesulit ini. Gray dan Ren berada di depan, sudah kuduga, dan sepertinya sangat semangat mengincar posisi pertama. Mereka berdua memang atletis karena sangat suka berolahraga. Aku sendiri sering diajak fitness belakangan ini. Ren sendiri sudah sebulan ini mulai mendalami karate dan Gray katanya hendak belajar Thifan Po Khan.

Aku melihat ke kiri. Fairuz tampak kesulitan juga, tapi aku masih unggul beberapa langkah. Dari wajahnya jelas terlihat kalau dia masih syok dan cemas sejak peristiwa kemarin malam.

"Ren dan Gray delapan belas detik." ujar Edo yang ditugasi mengukur waktu. "Altunsyah dua puluh satu detik dan Fairuz dua puluh lima detik."

"Hey, Al. Kelihatannya kemampuan fisiknya agak naik daripada saat kelas 10." Ujar Ren. "Makanya rajin olahraga terus."

"Oke." Hanya itu jawabanku. Aku masih lelah.

"Bener. Biar kamu nggak kayak dia." Imbuh Gray sambil menunjuk Sam. Dia masih tiga perempat jalan. Dua sembilan, tiga puluh, tiga puluh satu, tiga puluh dua.

"Sam, tiga puluh tiga detik." Ujar Edo pada Pak Budi.

"Kamu itu benar-benar payah." Ejek Gray kepada Sam saat kami kembali ke kamar. Tapi Sam tak membalas. Dia terbaring di kasurnya dengan lemas, seolah nyawanya hampir melayang saat itu juga.

Kamar kami semua dan para guru berada di lantai dua villa, sedangkan lantai satu untuk dapur, ruang aula, ruang makan, kamar para penjaga villa, tempat basket dan futsal, dan kolam renang dalam. Untuk kami para siswa, tiap kamar diisi lima orang.  Kamar kami memanjang dengan pintu di ujung, kemudian lima tempat tidur berjajar dengan meja di sisi kiri dan lemari kayu untuk satu orang di sisi kanan di tiap-tiap sisi tempat tidur. Di hadapan tempat tidur, terdapat jendela cukup luas untuk memandang panorama pantai dan laut.

"Bener tuh. Jadi cowok kok lemah banget. Laki itu harus punya otot kayak gini." Ujar Ren sambil memamerkan ototnya.

"Tapi kayaknya kamu harus atur pola makanmu deh, Ren." Timpalku sambil mendekat ke jendela, mencari angin dan mengeringkan kaus. "Lemakmu udah mulai nutupin ototmu, tuh."

"Iya, nih. Dua minggu ini aku makan agak banyak, jadi perut sixpack gue agak ketutup lemak, dah. Dua minggu ini aku juga bolos fitness." Kata Ren sambil menepuk-nepuk perutnya.

"Ruz, kamu kok lemes banget?" Tanyaku kini pada Fairuz yang sedari pagi hanya diam saja. "Kamu sakit?"

"Nah, Fairuz juga nih. Kamu itu jadi laki-laki kok lemes banget. Semangat, dong!" Ren memegang bahu Fairuz, tapi Fairuz segera menampik dengan keras. "Wey, sabar dong."

Fairuz tiba-tiba bangkit dari duduknya dan menatap kami satu persatu dengan tatapan murka dan cemas.

"Apa kalian semua ini tak khawatir, hah?!" ujar Fairuz lantang. Suasana kamar mendadak menjadi kaku.

"Khawatir?" Tanyaku. "Maksudmu..."

"Teman kita baru saja mati kemarin!" Kini Fairuz mulai meninggikan suaranya. "Apa kalian nggak khawatir?! Takut! Bisa saja pembunuh itu akan mengincar kita!"

"Terus apa yang mau kita lakukan? Bersikap murung sepanjang waktu seperti kamu? Atau menangis saat malam?" Ledek Ren.

"Kau!" Fairuz mencoba menyerang Ren, tapi Ren mendorong Fairuz dengan kuat hingga dia terduduk di kasurnya. Gray langsung mendekat dan memegang bahu Ren, isyarat agar dia bersikap lebih sabar.

"Ruz, coba ingat lagi apa yang dikatakan pak guru kemarin." ujarku. "Kecemasan berlebih tidak akan bermanfaat bagi siapapun, kecuali pembunuh itu sendiri. Lagipula kami semua juga khawatir, jelas. Tapi bukan berarti kita harus larut dalam kecemasan, kan."

"Bener yang dikatakan Al." Imbuh Sam. Nampaknya dia sudah mengumpulkan nyawanya kembali. "Kita semua kan selalu bersama. Berpikirlah positif."

"Berpikir positif bagaimana?" balas Fairuz. "Andy kemarin juga dibunuh di depan kita semua. Saat dia berkumpul dengan pak guru dan semua murid saat di aula. Apa kalian lupa?"

"Baiklah tuan Fairuz yang terhormat." Sela Ren. "Jadi apa saranmu? Apa kita harus berteriak-teriak seperti orang gila sepertimu juga?"

Fairuz bangkit dan mencoba menyerang Ren kembali. Tapi sadar akan perbedaan kekuatan di antara mereka, Fairuz melengos pergi.

"Hei, kau mau ke mana?"

"Sudahlah, Al." Sela Ren. "Biarkan anak manja itu pergi. Mungkin dia mau keluar mencari mamanya."

"Ren, kamu itu terlalu kasar tadi. Sabarlah sedikit." Kini Gray yang angkat bicara.

"Dia itu laki-laki, jadi memang harus dibeginikan. Memangnya cuma dia saja yang khawatir?" Suara Ren menurun sambil mulai memunculkan raut muka cemas. Suasana menjadi senyap.

***

Setelah shalat maghrib, kami semua berkumpul di ruang makan. Setelah semua murid dan guru telah dipastikan hadir semua, dimulailah makan malam. Porsi yang diberikan pada kami dikurangi dari yang seharusnya, agar persediaan makanan kami cukup sampai kami bisa keluar pulau, entah kapan tersebut tiba.

Beberapa guru terlihat mondar-mandir di sekitar pintu masuk dan membawa senter. Mungkin mencegah kejadian di aula terulang. Para siswa pun membawa handphone mereka masing-masing, agar bisa menjadi penerang kalau mati lampu mendadak seperti kemarin. Jika saja saat malam kemarin kami tidak dilarang membawa handphone di aula, mungkin Andy masih hidup. Tapi sudahlah. Tak ada gunanya juga menyalahkan.

Ruangan itu terdapat lima buah meja panjang. Empat untuk siswa di tengah ruangan dan satu di depan untuk para guru. Susunan ini mengingatkanku pada ruang makan di dalam film Harry Potter.

"Hei, Al." Panggil Iskandar yang duduk di depanku. Dia teman sekelasku. Perawakan dan tingginya hampir sama denganku dengan wajah yang selalu terlihat ceria. Kausnya berwarna hitam dengan gambar kepala tengkorak besar di depannya.

"Hmm." Jawabku menggumam karena sedang mengunyah makanan.

"Bagaimana kalau tiba-tiba Setan Merah itu masuk lagi dan membunuh salah satu di antara kita?" Mendengar ucapan Iskandar, Fairuz yang semula cemas menjadi tambah pucat pasi. Kaus warna kuning dengan tulisan "Always Happy" dan emoticon senyum di bagian depan yang dikenakan Fairuz nampaknya tak dapat menolong pemakainya dari lilitan kecemasan.

"Hei, itu nggak lucu tahu. Kalau ngomong yang baik-baik, dong. Omongan itu doa." Sahut Mehmed. Dia juga teman sekelasku dan satu kamar dengan Iskandar. Perawakannya kecil tetapi otot-ototnya membuat dia terlihat lebih kokoh, berbeda dengan Sam yang terlihat agak rapuh.

"Lho, aku emang nggak niat melucu dan aku juga nggak niat mendoakan buruk." Balas Iskandar dengan wajah tanpa dosa. "Toh lagipula, kematian semacam itu cuma bisa menimpa orang yang terlaknat."

"Hush!" Kataku lirih tapi tegas. "Jaga omongan, dong. Kamu secara nggak langsung menuduh Friz dan Andy."

"Sebenernya itu bukan tuduhan kosong juga, sih." Timpal Ren. Kaus merah tanpa lengannya membuat Ren terkesan orang yang keras. "Siapa juga yang nggak tahu kelakuan bejat mereka."

"Maksudmu hubungan Friz dengan Emina?" Tanya Sam penasaran.

"Oh, itu? Aku juga pernah denger gosipnya. Apa yang tentang Friz menghamili Emina itu?" Tanyaku.

"Nah, itu." Seru Mehmed disambut suara "ssstt" dari hampir semua teman semeja kami. "Maaf, maaf. Tapi memang dia kurang ajar! Itu pasti azab dari Allah!" Ujarnya lebih lirih tapi dengan nada kesal yang kental yang dilanjut dengan sumpah serapah. Setahuku, Emina adalah siswi SMA khusus putri yang letaknya agak dekat dengan sekolah kami. Dia menjadi primadona di sekolah kami yang semua siswanya laki-laki.

"Katanya dia depresi berat pas ketahuan hamil. Terus akhirnya dia tewas tersambar bus, entah dia melakukannya sengaja karena niat bunuh diri atau dia tak hati-hati saking depresinya." Lanjut Gray memberi keterangan lanjutan.

"Sayang, ya. Padahal dia cantik. Kelihatan alim pula." Imbuh Leon yang juga teman sekelasku. Dia termasuk anak yang paling peduli dengan penampilan, terbukti dengan pakaian yang dia kenakan. Kemeja katun putih dengan gambar pohon-pohon kelapa dan kapal-kapal kecil, sangat cocok dengan tema liburan pantai. "Tapi kalau dia sampai bisa dihamili, berarti sebenarnya dia bukan anak baik-baik juga, dong."

"Iya, ya. Tapi mesti dia ditipu Friz dan semacamnya. Tahu sendiri bocah itu kelakuannya seperti apa." Ujar Ren geram. Seingatku, gaya hidup Friz memang paling glamour, rutin menyambangi club, suka ikut balapan liar. Wajah yang cukup tampan ditambah dompetnya yang selalu terisi penuh membuat dia menjadi perhatian cewek-cewek. Tapi tak kusangka, Emina tipe cewek yang gampang tergoda juga.

"Andy juga sebelas dua belas sama Friz." Imbuh Iskandar. "Aku dengar dia itu pakai narkoba."

"Kalau aku pernah lihat secara langsung dia mabuk." Balas Gray.

"Serius?" Tanyaku.

"Serius, lah. Tuh, tanya aja Fairuz. Dia juga deket dengan mereka berdua, kan?" Tunjuk Gray. Fairuz yang sedari diam mendadak menengok ke arah kami dengan wajah pucat pasi.

"Hey, bener nggak apa yang dibilang Gray?" Desak Iskandar.

Belum sempat Fairuz menjawab, Pak Sahin berdiri memberi pengumuman.

"Anak-anakku semua. Kita semua tahu kejadian tidak menyenangkan kemarin..."

Melihat Pak Sahin berdiri dan berpidato membuat aku jadi sedikit merinding. Bukannya kemarin Andy tewas saat kami semua berkumpul di satu tempat mendengar pidato Pak Sahin. Akupun mengeluarkan handphone dari saku celanaku, siapa yang tahu kalau mendadak mati lampu. Ternyata, beberapa orang berpikiran sama denganku, mengeluarkan handphone mereka masing-masing.

"Oleh karenanya, bapak bersama para guru sudah memutuskan bahwa kita akan mengadakan jaga malam bergiliran."

Mendengar itu, semua siswa riuh. Beberapa terperangah, sebagian terkejut, sebagiannya justru bersemangat, dan ada juga yang memasang tampang hampir pingsan.

"Keren banget! Kita mungkin aja menangkap Setan Merah itu!" Kata Ren penuh semangat.

"Haduh, celaka bener. Nyusahin banget." Gumam Iskandar.

Aku melihat Gray dan Sam. Sama sepertiku, mereka juga bingung mau berekspresi seperti apa. Bukankah Pak Sahin tahu kalau kemungkinan besar orang dalamlah pelakunya. Atau apakah beliau punya rencana.

"Pak, bukannya itu berbahaya?" Leon bertanya seolah mewakiliku. Pertanyaannya agaknya diiyakan banyak murid juga.

"Ya. Memang ada resiko terjadi hal yang berbahaya. Tetapi jika tidak melakukan ini, justru akan lebih berbahaya. Pembunuh itu bisa saja berkeliaran dengan bebas karena keadaan villa yang sunyi. Di sisi lain, kita semua juga akan merasa tidak aman sepanjang malam karena takut kalau pembunuh tersebut berkeliaran."

Kalau dipikir, agaknya benar juga yang dikatakan Pak Sahin.

"Oleh karenanya, bapak melakukan ini sebagai tindakan pencegahan dan agar kita semua merasa aman." Lanjut Pak Sahin, kini sambil menatapku. Seolah jawaban yang diberikan Pak Sahin hanya ditujukan untukku.

"Bapak lanjutkan. Jadwal jaga malam dibagi menjadi tiga shift. Pertama, jam sembilan sampai jam dua belas malam. Kedua, jam dua belas sampai setengah tiga malam. Ketiga, jam setengah tiga malam sampai subuh. Kemudian pembagian jadwal jaga malamnya adalah ..."

***

"Al, bangun. Al."

Aku mengusap mataku. Ternyata Gray yang membangunkanku.

"Ada apa?"

"Giliranmu jaga malam?"

Masih dalam posisi berbaring, aku meraih handphone yang kuletakkan di meja. Jam 11.53. Aku melirik Sam yang tidur di kasur sebelah kiriku. Dia sudah bangun dan bersiap-siap. Akupun duduk sambil mengurangi kantuk.

"Di mana Ren dan Fairuz? Bukannya kalian giliran jaga bareng?" Tanyaku, dengan keadaan masih mengantuk.

"Paling mereka sebentar lagi datang." Balas Gray sambil merebahkan diri di kasur, bersiap untuk tidur. Akupun bangkit dari tempat tidur, memakai kaus putih dengan tulisan berwarna hijau "Selamatkan Bumi" dengan gambar bola dunia yang kudapat dari acara menanam 1.000 pohon di sekolah bulan lalu, memasukkan handphone di saku celana cargo selutut warna krem, dan memasukkan senter, sebotol air mineral, dan beberapa bungkus permen dan camilan dalam tas selempang hitam. Setelah persiapan selesai, barulah Fairuz dan Ren masuk kamar. Tapi wajah Fairuz terlihat cemas.

"Fairuz, kenapa wajahmu? Ada apa?" Tanyaku.

"Gak apa-apa. Dia memang terlalu pengecut jaga malam. Tiap menit dia melihat jam, ingin cepat-cepat balik ke kamar. Baru satu jam keliling villa, dia seperti mau nangis." Jelas Ren panjang lebar.

Sebenarnya aku mau menenangkan Fairuz, tapi jadwal jaga malamku sudah mulai. Lagipula, tidur mungkin obat penenang paling ampuh buat Fairuz.

Kamipun keluar. Saat ini, aku mendapat giliran jaga malam dengan Sam, Iskandar, Leon, dan Mehmed. Pak Budi dan Pak Yanto, guru sejarah kami, juga turut serta. Kami dibagi dua kelompok. Kelompok pertama, Sam, Mehmed, dan Pak Budi. Sisanya kelompok kedua.

Bersama kelompokku, kami memutari villa lantai dua, sementara kelompok satunya lagi berkeliling di lantai satu. Walaupun tengah malam, suasana malam itu masih saja gerah.

"Ngomong-ngomong, desain villa ini keren, ya." Celetuk Leon. "Mirip puri-puri di Eropa."

"Iya. Hanya saja dengan ukuran lebih kecil." Imbuhku.

"Setahu bapak, villa ini dulunya milik salah satu putra tak resmi bangsawan Belanda." Jelas Pak Yanto. "Saat masa-masa kolonialisme, dia pindah ke sini dan membangun villa ini untuk rumah pribadinya."

"Ooh." Ujar kami bertiga hampir serempak, berusaha paham.

"Tapi katanya, dulu villa ini penuh dengan lukisan?" Tanya Leon lagi. Aku baru ingat kalau Leon cukup tertarik dengan sejarah.

"Ya, memang benar. Lukisan malaikat dan orang-orang suci." Balas Pak Yanto. "Tapi saat keturunan pemilik villa ini menjadi mualaf sekitar abad sembilan belas, dia menghapus lukisan-lukisan tersebut."

"Lantas bagaimana ceritanya pak kok sekarang ini menjadi villa pribadi sekolah kita?" Tanyaku.

"Bapak juga tak tahu pastinya. Tapi kalau tidak salah, bibi dari nenek dari pihak ibu pendiri yayasan sekolah kita itu menikah dengan keturunan tunggal dari pemilik villa ini."

"Sebentar, pak." Sela Iskandar. "Nenek dari bibi pendiri yayasan ..."

"Bukan." Potong Leon. "Ibu dari bibi yang benar."

"Bukan." Sergah Iskandar. "Pokoknya ada neneknya. Iya kan, Al?"

"Entah. Yang kuingat ada nenek, ada ibu, ada bibi. Coba ulangi lagi pak tadi."

"Ibu dari nenek yang benar. Eh, tunggu. Kok ibu dari nenek. Bibi dari nenek apa, ya?" Kini Pak Yanto sendiri yang kebingungan. "Sudahlah, pokoknya diambil hikmahnya saja."

"Memang hikmah apa pak yang bisa dipetik dari cerita tadi." Sindirku.

"Sudahlah. Daripada membahas itu, lebih baik kita tebak-tebakan sejarah. Misalnya ..."

"Ya ampun, pak. Liburan kok masih aja bahas pelajaran." Protes Iskandar seketika yang membuatku tertawa. Tapi Leon terlihat menanti teka-teki dari Pak Yanto.

"Lho, belajar itu kan proses kesinambungan dan terus menerus sampai kita ke liang lahat." Balas Pak Yanto.

"Bapak ini. Ini kan liburan, ya istirahat dulu dong, pak." ujar Iskandar lagi. "Mana situasinya sedang seperti... Hey, apa itu?"

Kami melihat ke arah yang ditunjukkan Iskandar, di belokan lorong. Tiba-tiba, seseorang di keremangan berlari cepat dan menuju belokan lorong.

"Siapa itu!" Seru Pak Yanto dan kemudian berlari mengikuti sosok misterius itu. Kami bertigapun mengikutinya.

"Hati-hati, pak." Ujar Iskandar sambil berlari di samping Pak Yanto. "Kalau tak hati-hati nanti celaka. Bagaimana kalau mendadak mati lampu lagi seperti kemarin." Mendengar ucapan Iskandar, aku merogoh tas selempangku, mengambil dan menggenggam senter di tangan kananku.

"Kita harus cepat menangkap orang itu. Siapa tahu dia pelaku itu!" Ujar Pak Yanto murka.

Kami sudah berbelok dan sosok itu sudah setengah jalan menuju belokan berikutnya. Aku sendiri tak begitu jelas tentang postur tubuhnya karena dia memakai baju terusan longgar dengan garis hitam putih dengan rambut panjang sebahu. Kakinya menggunakan kaus kaki putih dengan sepatu berwarna gelap. Dia juga memakai sapu tangan putih. Hal ini membuat kulitnya tak terlihat.

Kami berempat berlari sekencang mungkin untuk menyusul sosok itu. Orang itu sudah menghilang di belokan lorong. Aku makin bersemangat dan tak terasa berlari di posisi paling depan. Pak Yanto yang cukup tambun berada di bagian paling belakang.

"Cepat, sebelum dia menghilang!" Seru Pak Yanto terengah-engah.

Akupun berusaha menambah kecepatanku. Saat tiga perempat jalan lorong sudah kami tempuh...

Bruk!

Pak Yanto, Iskandar, dan Leon yang berada di belakangku terpeleset. Aku ingin menolong mereka, tapi tak ada kesempatan kedua, pikirku. Toh mereka hanya terpeleset. Jika dia menghilang, hidup kami semua akan selalu terancam. Kutambah kecepatan dan setelah belokan ini, aku akan berlari lebih kencang untuk menyusulnya. Akupun berbelok dan ...

Deg!

Dia bukannya sudah berlari jauh seperti tadi atau menghilang di udara yang tipis. Tapi dia di depanku. Tepat di depanku. Bukannya berlari, tapi dia menungguku di belokan ini.

Dalam detik itu juga, keberanianku menguap seketika, berganti ketakutan dan keterkejutan yang mencekik. Karena berlari terlalu cepat, aku tak dapat menghentikan langkahku tiba-tiba. Terebih tenagaku tergerus, angin mendorongku mendekat ke sosok itu. Jarak kami makin mendekat. Rambut panjang yang menutupi wajah orang itu tersibak, menampilkan sebuah topeng polos yang mengerikan. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Pasrah.

Buk!

***

0 komentar:

Posting Komentar