The Time

Kamis, 07 Januari 2016

Tumpukan Album Lama

Liburanku sudah masuk hari ketiga dan apesnya, aku masih saja berdiam di rumah. Tujuh rencanaku bersama teman, dari bepergian ke pantai sampai sekedar ketemuan makan di warung, batal semuanya. Herannya, ada saja halangannya. Berkutat dengan telepon genggamku tak membuat lebih baik, malah jadi makin jengkel. Bagaimana bisa? Saat masuk di grup WhatsApp, isinya hanya pamer liburan atau mengunggah foto-foto makanan. Di BBM dan Facebook, yang kulihat hanya teman-temanku yang mengunggah gambar wisata dan update status liburan mereka. "Lagi liburan bareng sayangku di bla bla bla". Hoek banget, dah!

Aku berjalan gontai keluar kamar. Sepi. Ayahku bekerja, ibuku pergi wisata bersama ibu-ibu sekampung, kakak lelakiku katanya sedang cuti kerja, tapi entah di mana dia sekarang. Tak ada yang bermutu dari acara televisi di pagi hari, isinya hanya gosip tentang artis.

"Bosaaan!" Teriakku. Tak ada yang membalas.

Di tengah kebosanan, selintas aku berpikir untuk menggeledah seisi rumah. Mungkin ada barang unik dan antik yang menarik pikirku. Sasaran pertamaku adalah bufet tua di ruang keluarga. Dari tampangnya saja sudah terlihat bahwa ini benda paling kuno di rumah ini. Seingatku bufet ini sudah ada sejak zaman nenekmu menikah dan kemudian diwariskan kepada ayahku saat nenek meninggal.

Aku menggeledah lemari bagian bawahnya. Setumpuk persediaan kertas folio, surat, nota-nota pembayaran, amplop, skripsi ayah, ibu, dan kakakku, alat tulis menulis, dan banyak pernak-pernik kecil lain yang tak membuatku tertarik.

Aku buka lemari di sebelahnya. Isinya seperti yang kuharapkan. Beberapa album tua dan sepertinya ada surat-surat lama pula. Tapi kuputuskan dulu membuka album tua itu.

Album pertama yang kubuka ternyata berisi foto-foto hitam putih kusam keluarga besarku. Ada kakek dan nenek dari ayahku, adik dan kakaknya kakek, Bude Dewi, kakak tertua ayahku, dan saudara ayah yang lain, Pakde Kurniawan, Pakde Mukmin, Bulek Sri, Paklik Hadi, dan juga ayahku. Ini foto saat ayah belum menikah dengan ibu, kata ayahku dulu saat melihat foto ini. Mereka semua tampak tersenyum riang. Sayang, kakek, nenek, dan Bude Dewi telah tiada.

Aku membuka lagi album itu. Ada foto pernikahan ayah dan ibuku ternyata. Ada juga foto saat keluarga besar sedang berkumpul. Tertulis di samping foto "Lebaran 1980". Tua sekali.

Aku melanjutkan album kedua. Kini fotonya sudah berwarna. Halaman pertama album dipasang foto ayah, ibu bersama orangtua masing-masing, dengan anggota keluarga baru. Yah, itu kakakku. Masih bayi. Masih terlihat polos dan suci. Bagaimana bisa bayi lemah dan rapuh di foto ini bisa menjadi makhluk menyebalkan yang selalu menjahili dan selalu mengajakku bertengkar? Atau mungkin memang sudah suratan takdir bagi sesama saudara laki-laki untuk hidup seperti ini?

Aku membuka lebih jauh dan isinya hanya didominasi foto kakakku. Ada kakakku saat TK, saat mulai masuk SD, saat menangis, saat mengompol, saat tidur, saat makan, bahkan saat mandi. Ya ampun!

Aku mengambil album ketiga. Awal halaman album ini masih sama, masih didonimasi foto kakakku. Tapi, hey. Di halaman enam album ada yang baru.

"Jagoan kecil kami yang kedua telah lahir, Alhamdulillah." Tertulis di samping foto. Aku tersenyum. Benar, itulah aku.

Aku melihat diriku yang masih bayi. Ternyata jauh berbeda dengan diriku yang sekarang, tentu saja. Ada juga fotoku bersama kakakku, tapi kakakku terlihat cemberut. Seingatku, ibu memang pernah bilang padaku kalau kakak tidak mau punya adik. Oh, betapa kejamnya hidup ini. Aku ternyata seorang adik kecil malang yang tidak diinginkan. *hiks...menangisbohongan

Aku buka lembar demi lembar halaman album lagi. Ada fotoku juga. Tapi di situ, aku menangis sambil digendong ibu, sedangkan kakakku berdiri di sebelah sambil memegang tongkat kayu. Apa aku habis dipukuli kakakku sampai menangis, ya? Aku melihat keterangan di samping foto.

"Jagoan kecil ayah-ibu melindungi adiknya dari kejaran anjing tetangga."

Aku tertegun, tapi tak lama, lantaran suara sepeda motor kakakku terdengar di garasi. Aku bergegas mengembalikan album-album tua itu kembali ke bufet.

"Assalamu'alaykum."

"Wa'alaykumussalam."

"Kenapa kamu? Kok senyum-senyum sendiri."

"Mas, aku pengen minum es buah di alun-alun. Ayo nanti sore ke sana."

"Kagak mau. Males. Ke sana aja sendiri."

"Ayolah." Ujarku sambil bergelayutan di punggungnya.

"Idih. Kamu ini kayak anak kecil aja. Minggir. Lepas. Hoey."

"Nggak mau. Ayolah. Aku traktir es buah pokoknya."

Kakakku menghela napas panjang. "Okelah, oke. Sekarang turun."

"Beneran?" Ujarku senang sambil turun dari punggungnya.

Tangan kakakku langsung berpindah ke kepalaku, mengacak-acak rambutku. "Ya."


-fiksi-
Solo, 7 Januari 2016
Selamat Dhuha!!


1 komentar:

Posting Komentar